PTPN VII menyiasati harga komoditas agro di pasar global yang masih fluktuatif. Perusahaan perkebunan di Sumbagsel tersebut memaksimalkan kinerja dan produktivitas dengan operasional unggul dan tidak bergantung dengan faktor eksternal.
Direktur PTPN VII Doni P Gandamihardja mengatakan, perusahaan menggenjot kinerja dengan fokus kepada operasional unggul. Perlambatan kinerja korporasi akibat melemahnya harga komoditas agro beberapa tahun terakhir, akan teratasi dengan perbaikan akselerasi kinerja.
Doni mengakui, krisis harga komoditas agro yang melanda dunia berimbas pada PTPN VII. Saat terjadi krisis perusahaan di bawah PTPN III Holding ini dalam proses transformasi tata nilai menuju peningkatan daya saing karena ada perubahan visi dan misi perusahaan.
Dulu, PTPN adalah kepanjangan tangan pemerintah untuk membangun dunia perkebunan di pelosok Tanah Air dalam rangka menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru. “Sekarang bergeser harus menjadi korporasi yang menghasilkan devisa negara,” kata Doni dalam keterangan persnya yang diterima Republika.co.id, Senin (5/10).
Mantan dirut PTPN XIV itu mengatakan, transformasi tata nilai dan orientasi bisnis sudah berjalan. Dengan misi baru, PTPN VII memasuki fase yang lebih menekankan kepada tradisi operasional unggul (operational excellence). Pondasi operational excellence membuat PTPN VII tidak bisa lagi berharap pada kebaikan faktor eksternal.
Harga komoditas agro di pasar internasional selama beberapa tahun terakhir tidak ada pergerakan berarti. “Artinya, kami harus eksis dalam posisi harga saat ini. Opsinya adalah perbaikan ke dalam,” kata dia.
Dia mengatakan, dalam kondisi cash flow perusahaan yang sedang kurang baik, PTPN VII harus mencari alternatif baru dari sekadar memaksimalkan penggalian produksi. Ia mengatakan, bisnis komoditas agro memiliki risiko penyusutan nilai sangat aktif melebihi bisnis bidang lain.
Aset lahan PTPN VII yang berada di tiga provinsi (Lampung, Sumsel, dan Bengkulu) mencapai 130 ribu hektare. Namun, karena kelesuan bisnis agro secara global sehingga perusahaan belum bisa investasi replanting dan lahan yang saat ini tergarap hanya seluas 80 ribu hektare.
Lahan yang menjadi tidur ini, selain tidak berproduksi juga menjadi beban biaya. Lebih dari itu, lahan belum termanfaatkan ini juga rawan gangguan oknum yang mencoba melakukan penyerobotan dengan berbagai modus.
Sumber Republika, edit koranbumn