Komisi XI DPR RI masih terus membahas terkait revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Komisi XI DPR RI pun mengadakan dengar pendapat dari para pengusaha, salah satunya Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).
Himbara tersebut terdiri dari empat bank Badan Usaha Milik Negara yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN).
Dalam paparannya, Himbara menyebut dengan adanya penerapan RUU KUP tersebut akan semakin meningkatkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di 2022 sekitar Rp 175,8 triliun. Akan tetapi karena PPN tersebut ditanggung oleh konsumen, maka kemungkinan akan menekan daya beli masyarakat.
“PPN ini akan ditanggung oleh konsumen akhir sehingga beban pajak ini akan menambah beban nasabah pinjaman atau disinsentif yaitu bunga plus pajak, sehingga peningkatan biaya meminjam ini akan berpotensi memperlambat inklusi finansial,” tulis Himbara seperti dikutip dari bahan presentasi Himbara dalam rapat Komisi XI DPR, Kamis (26/8).
Selain itu, disebutkan dampak kebijakan PPN juga akan berpotensi menyebabkan produk domestik bruto (PDB) berkurang sekitar 0,27%. Artinya tekanan dan daya beli serta inflasi yang meningkat akan membuat tekanan ke PDB.
Himbara memperhitungkan akan terjadi juga kenaikan inflasi dengan estimasi menjadi kurang lebih 4% pada 2022 nanti. Sehingga penerapan PPN tersebut juga akan menyebabkan biaya loan semakin besar dan akan memengaruhi forward linkage perbankan atau sektor rill. Alhasil, perkembangan sektor rill akan terhambat.
Himbara mengukur kebijakan PPN saat ini sebenarnya sudah tepat dan juga merupakan kebijakan yang berlaku di banyak negara. Salah satunya di Uni Eropa dan mayoritas negara telah menerapkan pengecualian PPN untuk sektor keuangan, khususnya yang interest-based.
“Selandia Baru bahkan menerapakan zero-rating untuk sektor keuangan,” tulis Himbara.
Himbara menimbang-nimbang dengan adanya penerapan PPN tersebut kemungkinan akan mengurangi defisit anggaran dari 6% menjadi 4,1% sampai 4,29% dari PDB. Selain itu PPN juga dapat mengarahkan pada sovereign rating Indonesia yang kembali baik, alias dengan kembali ke prudent fiscal dengan maksimal defisit 3% dari PDB.
“Dengan begitu maka sovereign rating atau peringkat utang mata uang asing Indonesia akan kembali ke BBB,” pungkas Himbara.
Sumber Kontan, edit koranbumn