Rosta Rosalina (25), seorang pengguna Kereta Api Jarak Jauh yang berencana pulang ke Sidoarjo dari Jakarta harus memendam keinginannya sejenak.
Awalnya dia mengaku sudah memesan tiket untuk keberangkatan 30 Juni 2021. Namun dia kemudian membatalkan tiket tersebut dan menjadwalkan ulang untuk keberangkatan 11 Juli 2021.
Semula, wanita yang kerap disapa Rosa ini berniat menantang dirinya dengan pulang menggunakan Kereta Dharmawangsa kelas ekonomi yang memakan waktu lebih kurang 11 jam hingga tiba di Surabaya, Jawa Timur.
Sayangnya, sehari sebelum keberangkatan, tepatnya 10 Juli 2021 dia menerima pemberitahuan lewat pesan singkat bahwa perjalanan Kereta Dharmawangsa dibatalkan.
“Keinginan tersebut gagal karena ternyata Kereta Dharmawangsa di-cancel. Itu baru dikasih tahu lewat SMS malam hari,” katanya
Kendati begitu, Rosa tidak kecewa lantaran PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI langsung mengganti biaya pembatalan tiketnya secara langsung dihari yang sama dengan pengajuan klaim.
Terkait dengan situasi pandemi ditambah dengan tengah diberlakukannya pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali pada 3-20 Juli 2021, Rosa mengaku tidak terlalu diberatkan dengan aturan yang berlaku.
Pasalnya, salah satu dokumen yang diwajibkan sebagai syarat perjalanan khusus di Pulau Jawa mulai 5 Juli 2021 adalah wajib menunjukkan kartu/sertifikat vaksinasi Covid-19 (minimal dosis pertama) dan surat tanda negatif Covid-19 dari hasil pemeriksaan RT-PCR yang berlaku maksimal 2×24 jam atau Rapid Test Antigen maksimal 1×24 jam sebelum keberangkatan.
Bukan itu saja, dia bahkan mengapreasiasi layanan PT KAI yang memberikan perlindungan ekstra kepada pelanggan. Petugas senantiasa berupaya menjamin keselamatan, keamanan, dan kesehatan pengguna jasa terutama di tengah pandemi Covid-19.
Lain kisah dengan Rosa, Eric Marten (28) yang bekerja sebagai customer service di salah satu e-commerce juga punya pengalaman tersendiri saat terpaksa tetap menggunakan layanan Kereta Rel Listrik (KRL) di tengah PPKM.
Meski terkesan rumit, menurut Eric yang sehari-harinya pulang pergi kantor dari Bekasi ke Cikini, Jakarta Pusat menggunakan KRL, sejumlah dokumen persyaratan yang diberlalukan KAI Commuter sebagai anak usaha dari PT KAI sama sekali tidak menyulitkan.
“Sama seperti biasa sih. Jadi cuma lebih ketat diminta untuk memakai double masker untuk jenis jenis masker tertentu juga sekarang itu harus dilengkapi dengan surat keterangan kerja [STRP],” ungkapnya.
Bagi dia, naik KRL di tengah PPKM tak ada bedanya dengan sebelum diperketatnya mobilitas masyarakat. Hanya saja, tidak semua orang kini bisa naik moda transportasi tersebut meskipun peminatnya sangat banyak dibanding angkutan lain.
Adaptasi KAI
Kedua cerita tersebut adalah bagian dari upaya KAI untuk tetap melayani pelanggan secara maksimal di tengah pandemi. Meski terasa menyulitkan, perseroan paham betul masih banyak orang yang terpaksa bepergian kendati bahaya kesehatan menghantui.
Apakah KAI pernah memprediksi dan siap dengan kondisi tersebut? Sepertinya bukan hanya KAI saja, semua orang di dunia tentu tidak siap dengan pandemi ini.
Sejak kasus pertama Covid-19 pada Maret 2020, Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo mengaku perusahaan pelat merah itu langsung mencatatkan penurunan grafik angkutan penumpang. Alhasil, dari sebelumnya bisa meraup untung Rp23 miliar-27 miliar sehari, kini untuk mendapatkan Rp5 miliar pun sulit.
“Saya bisa gambarkan didalam kondisi normal pendapatan angkutan penumpang itu rata-rata satu hari bisa Rp23 miliar-Rp24 miliar. Kalau weekend itu bisa mencapai Rp26 miliar-Rp27 miliar satu hari,” katanya
Namun begitu, Didiek menilai di situasi ini bukan perihal untung rugi yang jadi prioritas KAI. Baginya, perseroan harus seiring sejalan dengan pemerintah dalam berjuang melawan pandemi Covid-19.
Dia berujar agar mampu menyudahi pandemi, KAI rela mengeluarkan modal demi membantu calon penumpang mendapatkan tes kesehatan yang mudah dan murah.
Sebagai penyedia jasa, KAI senantiasa menyediakan layanan tes cepat antigen, memberikan masker sebagai salah satu dasar utama protokol kesehatan di tengah pandemi, hingga ikut mengalokasikan kuota vaksinasi bagi penumpang yang belum divaksin.
Upaya inilah yang menurut Didiek merupakan bentuk adaptasi KAI di tengah pandemi. Terbaru, KAI kembali menyesuaikan aturan perjalanan demi menjamin kesehatan penumpang yang terpaksa terus bepergian di masa pandemi Covid-19.
KAI masih berpedoman pada regulasi SE No. 17/2021 Satgas Penanganan Covid-19 dimana saat ini pelanggan yang berusia 12 tahun ke atas, wajib menunjukkan kartu vaksin minimal dosis pertama dan hasil negatif tes RT-PCR dengan masa berlaku 2×24 jam atau rapid test antigen dengan masa berlaku 1×24 jam.
Sementara waktu, pelanggan usia di bawah 12 tahun untuk tidak diperkenankan melakukan perjalanan. KAI memastikan akan mengembalikan biaya tiket 100 persen bagi pelanggan yang tidak memenuhi persyaratan untuk melakukan perjalanan.
Jaga Kesehatan Keuangan
Namun bukan saja upaya adaptasi di bidang kesehatan pegawai dan pelanggan, Didiek memastikan perseroan juga melakukan langkah strategis menjaga kesehatan keuangan.
Upaya pertama dengan tetap menjaga likuiditas yang merupakan aliran darah dari suatu korporasi. Dia mengaku KAI menyiapkan payung berupa fasilitas pinjaman modal kerja yang standby dari perbankan hingga Rp8,5 triliun.
“Padahal kami secara averange menggunakan sekitar Rp1,5 triliun dalam kondisi yang normal,” ujarnya.
Selanjutnya KAI mengoptimalkan bantuan pemerintah yang didapatkan akhir tahun lalu melalui dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) atau dalam artian lain adalah pinjaman talangan dari pemerintah dengan suku bunga rendah dan harus dikembalikan saat situasi telah normal.
Upaya kedua, KAI melakukan efisiensi atau penghematan. Hebatnya, perseroan tidak akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang biasanya dilakukan sebuah korporasi sebagai upaya efisiensi dengan alasan pegawai adalah aset berharga milik perseroan.
Menyoal langkah efisiensi, Didiek memilih melakukan negosiasi dengan perbankan dan melakukan restrukturisasi terhadap seluruh kredit investasi dengan pertimbangan arus kas KAI. Bukan itu saja, dia juga melobi Kementerian Keuangan untuk memberikan keringanan berupa penundaan atau pemotongan pajak.
Upaya ketiga, lanjut Didiek, dengan melakukan optimasi pendapatan dari sektor nonangkutan. Beberapa upaya dilakukan dengan menggenjot sektor aset dan angkutan barang.
“Kemudian usaha berikutnya adalah kami membangun upaya-upaya untuk menciptakan pendapatan-pendapatan di luar angkutan penumpang dan barang,” pungkasnya.
Berkaitan dengan layanan angkutan barang, VP Public Relations KAI Joni Martinus mengaku ingin lebih mengekspansi angkutan barang dengan beragam kerja sama baik untuk angkutan yang sudah lama maupun pengembangan angkutan baru.
“Salah satu yang sudah dilakukan KAI adalah membuka kembali atau reaktivasi jalur kereta api logistik yang ada di pelabuhan, melalui kerja sama dengan Pelindo III dan Terminal Petikemas Surabaya [TPS]. Kita harapkan itu bisa mengekspansi angkutan barang dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan,” imbuhnya.
Mengambil istilah dari sektor perkeretaapian, KAI bagaikan menjaga ‘deadman pedal’ selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Deadman pedal adalah alat yang wajib diinjak dan diangkat secara teratur oleh masinis selama perjalanan untuk menunjang keselamatan perjalanan kereta api.
Ketika masinis berhenti menginjak deadman pedal akibat mengantuk, tertidur atau meninggal secara mendadak, maka alarm akan berbunyi dan lokomotif sertamerta berhenti.
KAI tidak boleh lengah dalam upaya adaptasi selama pandemi baik untuk melindungi penggunanya maupun keberlangsungan internal perseroan, maka strategi ala deadman pedal sudah selayaknya dijalankan.
Sumber Bisnis, edit koranbumn