PT Pertamina (Persero) tengah mengalokasikan belanja modal atau capital expenditure (capex) mereka untuk mengembangkan bisnis rendah emisi terkait dengan upaya percepatan transisi energi nasional saat ini.
“Pertamina mengembangkan strategi untuk mendukung transisi energi dengan mengalokasikan capex-nya pada energi rendah emisi,” kata Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha (SPPU) Pertamina Atep Salyadi Dariah Saputra dalam acara SOE International Conference di Bali, Selasa (18/10/2022).
Lewat Pertamina Green Business Initiatives, alokasi belanja modal untuk pengembangan bisnis rendah emisi perusahaan minyak dan gas (migas) pelat merah itu mencapai sekitar US$145 miliar sepanjang 2022 hingga 2060.
Perinciannya, anggaran US$10 miliar disiapkan untuk pengembangan biofuels, US$55 miliar untuk energi baru dan terbarukan, US$25 miliar dialokasikan untuk pengembangan CCS/CUS, US$5 miliar dialihkan untuk investasi baterai dan kendaraan listrik, dan sisanya US$50 miliar untuk masuk pada bisnis hidrogen. Pertamina juga turut berencana untuk masuk pada bisnis karbon pada 2030 mendatang.
“Kami sudah menargetkan untuk meningkatkan bauran energi di Pertamina dari 1 persen tahun lalu menjadi 17 persen pada 2030, termasuk porsi gas dari 3 persen bisa jadi 9 persen pada periode yang sama,” tuturnya.
Di sisi lain, dia menargetkan porsi energi fosil pada bisnis Pertamina dapat turun drastis lewat inisiatif tersebut. Dari saat ini porsi energi fosil sebesar 96 persen, kata dia, dapat turun ke angka 64 persen pada 2030 mendatang.
Adapun, Pertamina menargetkan pendapatan perseroan berada di kisaran US$30 miliar hingga US$40 miliar setiap tahunnya lewat inisiatif bisnis rendah emisi tersebut. Di sisi lain, Pertamina diharapkan dapat mengambil porsi 2 persen dari kontribusi penurunan emisi nasional pada 2060 nanti.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengajak mitra bisnis dan lembaga keuangan untuk ikut berkolaborasi dalam pembiayaan transisi energi di Indonesia.
Arifin menuturkan Indonesia membutuhkan pembiayaan sebesar US$1 triliun untuk investasi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2060. Selain itu, Arifin menambahkan, biaya transisi energi itu berpotensi meningkatkan seiring diterapkannya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara yang dimulai tahun ini.
“Pembiayaan transisi energi makin meningkat karena kami akan menerapkan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara yang membutuhkan biaya besar untuk membayar kembali pinjaman dan bunga kepada pengembang,” kata Arifin saat menghadiri acara Roundtable Discussion ‘a Just Energy Transition and Financing’ yang diselenggarakan United Nations Development Programme (UNDP) di Grand Hyatt Hotel, Jakarta, Kamis (13/10/2022).
Sumber Bisnis, edit kornabumn