PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. atau KS menyatakan akan mencari investor maupun partner strategis untuk mengoperasikan blast furnice.
Seperti diketahui, KS menyatakan bahwa investasi pembangunan blast furnice tersebut dinyatakan gagal dan menyeret laporan keuangan perseroan. Alhasil, KS mematikan api di blast furnice perseroan pada akhir kuartal IV/2019.
“Blast furnice itu [proses produksi baja] paling efisien kalau memiliki EAF [electric arc furnace], tapi ada satu hal yang tidak kami punya [dalam rangkaian produksinya], harus ada BOF [basic oxygen furnice],” ujar Direktur Utama KS Silmy Karim dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR, Rabu (8/7/2020).
Secara umum, blast furnace, basic oxygen furnace, dan electric arc furnace merupakan fasilitas produksi utama dalam mengolah bahan baku industri hulu baja seperti bijih baja dan sekrap baja menjadi baja cair. Setelah berbentuk cair, pabrikan baru membentuk baja tersebut, umumnya menjadi slab, billet, atau bloom.
Silmy berujar pihaknya memilih menyatakan penggunaan blast furnace memiliki risiko yang cukup tinggi bagi perseroan. Menurutnya, pihaknya sudah melayangkan ajakan kepada Posco Co., Ltd. dan Nippon Steel Corporation.
Silmy menyampaikan pihaknya belum menentukan bentuk kerja sama tersebut. “Kami cari ahlinya dan yang penting bagaimana bisa mengefisiensikan [blast furnice] ini. Bentuk [kerja samanya] bisa spin-off [blast furnace] lalu JV [joint venture].”
Seperti diketahui, KRAS mulai mengoperasikan fasilitas blast furnace pada awal September 2019. Pengoperasian fasilitas blast furnace diyakini mampu membuat keuangan Krakatau Steel yang selama ini terus mengalami kerugian, bakal lebih sehat.
Fasilitas blast furnace sempat mencuatkan polemik setelah Komisaris Independen Krakatau Steel ketika itu, Roy Edison Maningkas, mengajukan surat pengunduran diri. Melalui suratnya, dia menyatakan dissenting opinion atas proyek blast furnace.
Kala itu, Roy menuturkan beroperasinya fasilitas blast furnace dipaksakan. Apalagi, keamanan fasilitas itu diragukan karena belum memiliki gas holder. Di sisi lain, KRAS berisiko mengalami rugi senilai Rp1,3 triliun per tahun karena harga pokok produksi slab yang dihasilkan dari fasilitas blast furnace diklaim lebih mahal US$82 per ton dari harga pasar.
Sumber Bisnis, edit koranbumn