Kondisi tanah dan lereng di Indonesia yang tidak stabil, menjadi perhatian khusus bagi pembangunan konstruksi. Pada dasarnya, konstruksi untuk jalan, bangunan, jembatan ataupun kereta api memerlukan pondasi tanah yang kuat serta perhitungan yang tepat, sehingga dapat meminimalisir terjadinya longsor. Umumnya longsor dapat terjadi karena berbagai hal, seperti adanya erosi, peningkatan beban, perubahan kadar air dan pengaruh aliran air atau rembesan yang menjadi faktor penting dalam stabilitas lereng.
Lalu, upaya apa yang perlu dilakukan dalam membangun konstruksi di atas lereng? Lereng atau talud merupakan suatu permukaan tanah yang miring dengan sudut tertentu terhadap bidang horizontal dan tidak terlindungi. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memperkuat kondisi lereng. Pada umumnya, konstruksi yang dibangun di atas lereng menggunakan dinding penahan tanah di tepi lereng. Akan tetapi, hal tersebut belum cukup memadai dan mampu menahan longsoran tanah.
Tidak hanya berfokus pada penahan dinding tanah, dalam teknik konstruksi, terdapat salah satu metode yang digunakan untuk stabilitas lereng. Metode ini dinamakan Soil Nailing. Soil nailing merupakan teknik konstruksi dan salah satu metode untuk memperkuat kondisi lereng tanah yang tidak stabil. Teknik soil nailing juga dapat digunakan untuk menambah keamanan bagi lereng eksisting yang telah stabil.
Teknik soil nailing ini pertama kali diterapkan sebagai perkuatan untuk sebuah dinding penahan tanah di Perancis pada 1961. Teknik ini kemudian dikembangkan oleh Rebcewicz untuk galian terowongan yang dikenal dengan “The New Austrian Tunneling Method “(NATM)
Sumber ADHI / edit koranbumn.com