GIAA mengajukan dana segar kepada Danantara yang proposalnya diajukan pada 21 Mei 2025. Danantara butuh waktu 2 bulan untuk resmi menyuntikkan modal sebesar US$405 juta atau setara Rp6,65 triliun kepada Garuda.
Danantara memberikan dukungan awal berupa pinjaman pemegang saham (shareholder loan) senilai Rp6,65 triliun sebagai bagian dari total dukungan pembiayaan yang dirancang mencapai US$1 miliar.
Dari jumlah tersebut, PT Citilink Indonesia selaku anak usaha GIAA akan diberikan dalam bentuk shareholder loan sebesar Rp4,83 triliun. Dengan begitu, nilai bersih yang diterima Garuda adalah Rp1,82 triliun.
Fase awal kolaborasi difokuskan pada perawatan dan peningkatan kesiapan operasional armada Garuda Indonesia Group, baik Garuda sebagai full service carrier (FSC) maupun Citilink sebagai low cost carrier (LCC).
Selanjutnya, Danantara dan Garuda akan melanjutkan transformasi dengan menitikberatkan pada optimalisasi kinerja operasional dan finansial sebagai bagian dari agenda jangka panjang menuju maskapai berkelanjutan.
Akan tetapi, berdasarkan laporan keuangan, GIAA membukukan rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$143,7 juta atau Rp2,33 triliun (kurs Jisdor Rp16.231 per dolar AS 30 Juni 2025) pada semester I/2025.
Rugi bersih GIAA tercatat meningkat 41,36% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan dengan rugi periode yang sama tahun sebelumnya US$101,65 juta atau Rp1,64 triliun.
Kondisi tersebut sejalan dengan penurunan pendapatan usaha 4,47% yoy menjadi US$1,54 miliar pada semester I/2025, dibandingkan US$1,62 miliar pada semester I/2024.
Pendapatan GIAA berasal dari penerbangan terjadwal mencapai US$1,18 miliar pada semester I/2025, turun dibandingkan pendapatan penerbangan terjadwal pada semester I/2024 sebesar US$1,27 miliar.
Kemudian, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal GIAA mencapai US$205,83 juta, naik dari US$177,96 juta. Lalu, pendapatan GIAA lainnya turun menjadi US$158,2 juta, dari sebelumnya US$167,57 juta.
Meski begitu, beban usaha GIAA menyusut 1,82% menjadi US$1,5 miliar pada semester I/2025, dibandingkan US$1,53 miliar pada semester I/2024.
Beban operasional penerbangan Garuda Indonesia susut menjadi US$765,4 juta dari sebelumnya US$839,12 juta. Namun, beban pemeliharaan dan perbaikan membengkak menjadi US$318,96 juta, dari sebelumnya US$257,57 juta.
GIAA pun masih berkutat dengan ekuitas negatif usai liabilitas GIAA melebihi asetnya. Tercatat, aset GIAA mencapai US$6,51 miliar pada periode yang berakhir 30 Juni 2025. Sementara, liabilitas GIAA mencapai US$8,01 miliar. Alhasil, ekuitas negatif GIAA mencapai US$1,49 miliar.
Kondisi tersebut tidak membuat pemerintah bergeming untuk melanjutkan wacana merger antara Pelita Air dan Garuda Indonesia.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Perkasa Roeslani menyebut wacana itu masih dalam tahap kajian mendalam.
“Ya masih semua masih dikaji kok ya,” ujar Rosan saat ditemui di Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Menurutnya, pertimbangan utama dari rencana penggabungan dua maskapai tersebut adalah untuk meningkatkan efisiensi sekaligus memperkuat daya saing industri penerbangan nasional.
Sebelumnya, Direktur Niaga Garuda Indonesia Reza Aulia Hakim mengatakan kinerja keuangan seperti kerugian dan ekuitas negatif menjadi perhatian perseroan. Namun, perseroan tengah berupaya menjalankan berbagai strategi guna mendongkrak kinerja keuangannya.
“Fokus utama kami tidak hanya membalikkan kinerja ke positif, tapi kokoh. Kami berupaya wujudkan laba positif dan ekuitas on the track,” kata Reza dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI pada Senin (22/9/2025).
Sumber Bisnis, edit koranbumn














