PT. Bukit Asam Tbk (PTBA) berambisi menjadi produsen batubara terbesar kedua di Indonesia dalam lima tahun ke depan menyusul berbagai proyek pengembangan yang telah dicanangkan perseroan. Perusahaan pelat merah ini hendak menggeser posisi PT Adaro Energy Tbk. yang tahun ini menargetkan produksi 50 juta ton. Produsen batubara terbesar saat ini masih dipegang oleh PT Kaltim Prima Coal dengan produksi 60 juta ton pada 2018.
“Kami merupakan perusahaan dengan sumber daya maupun cadangan batubara terbesar di Indonesia. Dalam lima tahun, kami mengincar produksi 58 juta ton sehingga bisa menjadi pemain terbesar kedua atau ketiga,” tutur Direktur Utama Bukit Asam (PTBA) Arviyan Arifin.
Saat ini, PTBA memiliki sumber daya sebanyak 8,27 miliar ton dan cadangan tertambang sebanyak 3,33 miliar ton. Perseroan tengah menyelesaikan sejumlah proyek pengembangan untuk memper-mudah distribusi hasil tambang. Salah satunya adalah proyek rel kereta api menuju Pelabuhan Prajin, di bagian utara Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) yang akan menambah kapasitas distribusi 10 juta ton per tahun. Proyek ini diperkirakan selesai pada 2022.
Selain itu, PTBA juga sedang mennyelesaikan jalur kereta api di bagian selatan Lampung yang akan menambah kapasitas distribusi hingga 20 juta ton pada 2023. Di luar itu, perbaikan jalur eksisting juga tengah dikerjakan baik di jalur Kertapati, Sumsel maupun Tarahan, Lampung. Rencana produksi tersebut akan terpenuhi apabila seluruh proyek pengembangan PTBA selesai tepat waktu, termasuk beberapa lelang pembangkit listrik yang diikuti oleh perseroan.
Sejauh ini, manajemen merasa kapasitas cukup besar untuk memenuhi target tersebut. PTBA juga berusaha menciptakan nilai tambah produksi batubara dengan membangun pembangkit listrik mulut tambang yakni Sumsel 8 di Banko Tengah dengan kapasitas 2×620 MW dengan investasi US$1,26 miliar. Pada proyek ini, PTBA melakukan penyertaan saham 45% dan diperkirakan selesai pada 2021 dengan konsumsi batu-bara mencapai 5,4 juta ton per tahun. Perseroan juga akan menyuplai batubara untuk PLTU Peranap, Riau berkapasitas 2 x 300 MW, dengan konsumsi batubara 4,2 juta ton per tahun mulai 2023.
“Di Sumsel 8, akan menjadi PLTU dengan harga jual listrik termurah karena harga batubaranya fixed. Jika semua proyek kami berjalan, kami bisa terus meningkatkan produksi hingga 75 juta ton per tahun,” tutur Arviyan.
Menurutnya, perseroan harus bertarung melawan waktu agar cadangan batubara yang dimiliki bisa dimanfaatkan dengan harga juga bagus seperti sekarang. “Sebab, kita tidak tahu apakah di masa depan batubara masih jadi komoditas yang diminati seiring ditemukannya sumber-sumber energi alternatif lain,” terang Arviyan.
Dia menambahkan, dengan kondisi sekarang, PTBA masih bisa mencetak kinerja bagus dengan penjualan mencapai 6,3 juta ton pada kuartal I/2018, atau tumbuh 16% dari tahun lalu. Adapun laba yang diraih mencapai Rp1,45 triliun, atau berkontribusi hampir separuh dari laba bersih yang diraih induk perusahaan tambang PT Inalum (Persero) senilai Rp3 triliun.*
Sumber Situs Web PTBA/bisnis.com)
“Kami merupakan perusahaan dengan sumber daya maupun cadangan batubara terbesar di Indonesia. Dalam lima tahun, kami mengincar produksi 58 juta ton sehingga bisa menjadi pemain terbesar kedua atau ketiga,” tutur Direktur Utama Bukit Asam (PTBA) Arviyan Arifin.
Saat ini, PTBA memiliki sumber daya sebanyak 8,27 miliar ton dan cadangan tertambang sebanyak 3,33 miliar ton. Perseroan tengah menyelesaikan sejumlah proyek pengembangan untuk memper-mudah distribusi hasil tambang. Salah satunya adalah proyek rel kereta api menuju Pelabuhan Prajin, di bagian utara Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) yang akan menambah kapasitas distribusi 10 juta ton per tahun. Proyek ini diperkirakan selesai pada 2022.
Selain itu, PTBA juga sedang mennyelesaikan jalur kereta api di bagian selatan Lampung yang akan menambah kapasitas distribusi hingga 20 juta ton pada 2023. Di luar itu, perbaikan jalur eksisting juga tengah dikerjakan baik di jalur Kertapati, Sumsel maupun Tarahan, Lampung. Rencana produksi tersebut akan terpenuhi apabila seluruh proyek pengembangan PTBA selesai tepat waktu, termasuk beberapa lelang pembangkit listrik yang diikuti oleh perseroan.
Sejauh ini, manajemen merasa kapasitas cukup besar untuk memenuhi target tersebut. PTBA juga berusaha menciptakan nilai tambah produksi batubara dengan membangun pembangkit listrik mulut tambang yakni Sumsel 8 di Banko Tengah dengan kapasitas 2×620 MW dengan investasi US$1,26 miliar. Pada proyek ini, PTBA melakukan penyertaan saham 45% dan diperkirakan selesai pada 2021 dengan konsumsi batu-bara mencapai 5,4 juta ton per tahun. Perseroan juga akan menyuplai batubara untuk PLTU Peranap, Riau berkapasitas 2 x 300 MW, dengan konsumsi batubara 4,2 juta ton per tahun mulai 2023.
“Di Sumsel 8, akan menjadi PLTU dengan harga jual listrik termurah karena harga batubaranya fixed. Jika semua proyek kami berjalan, kami bisa terus meningkatkan produksi hingga 75 juta ton per tahun,” tutur Arviyan.
Menurutnya, perseroan harus bertarung melawan waktu agar cadangan batubara yang dimiliki bisa dimanfaatkan dengan harga juga bagus seperti sekarang. “Sebab, kita tidak tahu apakah di masa depan batubara masih jadi komoditas yang diminati seiring ditemukannya sumber-sumber energi alternatif lain,” terang Arviyan.
Dia menambahkan, dengan kondisi sekarang, PTBA masih bisa mencetak kinerja bagus dengan penjualan mencapai 6,3 juta ton pada kuartal I/2018, atau tumbuh 16% dari tahun lalu. Adapun laba yang diraih mencapai Rp1,45 triliun, atau berkontribusi hampir separuh dari laba bersih yang diraih induk perusahaan tambang PT Inalum (Persero) senilai Rp3 triliun.*
Sumber Situs Web PTBA/bisnis.com)