PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menaikkan peringkat Kontrak Investasi Kolektif Efek Berangun Aset (KIK EBA) Mandiri GIAA01 Kelas A milik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA)
Tim analis Pefindo Danan Dito dan Yogie Surya Perdana mengatakan mereka merevisi peringkat KIK EBA GIAA01 menjadi idBB dari sebelumnya idCCC. Adapun, peringkat kontrak investasi senilai Rp1,44 triliun ini diturunkan dari idA- menjadi idCCC pada Juli lalu.
Kenaikan peringkat ini didasarkan pada penilaian ulang Pefindo terhadap kontrak investasi tersebut, menyusul pembayaran pokok amortisasi sebesar Rp360 miliar pada 2 September 2020, dari jadwal semula 27 Juli 2020.
Pefindo menjelaskan, proses klaim dari PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI) sebagai manajer investasi kepada PT Asuransi Kredit Indonesia (idAA+/stable) sebagai penjamin utama dari transaksi ini dihentikan dan selanjutnya ditarik karena GIAA menyediakan dana yang diperlukan untuk membayar saldo utang.
Keputusan tersebut sehubungan dengan adanya klausul force majeure atau politica risk dalam jaminan, yang menyebutkan penghentian penerbangan dari Jeddah dan Madinah ke Indonesia dan sebaliknya akan terus berlangsung selama larangan terbang berlaku.
“Kami berpandangan bahwa jaminan Askrindo memiliki dampak yang jauh lebih kecil terhadap peringkat KIK EBA. Sebab, pada penilaian awal ketika KIK EBA ini diterbitkan tidak memperhitungkan dampak pandemi Covid-19 yang tidak terduga dan belum pernah terjadi sebelumnya,” demikian tulis analis Pefindo dalam publikasinya,
Di sisi lain, Pefindo merevisi outlook GIAA menjadi “negatif” dari yang semula “pengawasan kredit dengan implikasi negatif”. Ini sejalan dengan realisasi pembayaran amortisasi pokok perseroan.
Lembaga pemeringkat ini mengatakan outlook negatif mencerminkan profil kredit GIAA yang mereka nilai masih lemah dan rentan memburuk di tengah meningkatnya kasus infeksi di Indonesia dan penerapan kembali PSBB di Jakarta yang dapat membalikkan tren peningkatan perjalanan udara domestik belakangan ini.
“Kami pikir ini dapat memberikan tekanan lebih lanjut pada arus kas dan posisi likuiditas GIAA dan KIK EBA,” tambah Pefindo.
Selain itu, revisi outlook ini juga didorong oleh adanya potensi penangguhan pencabutan sebagian penerbangan internasional oleh pemerintah Arab Saudi. Pasalnya, hingga sekarang belum ada tanda rute Jeddah dan Madinah kembali dibuka dan dapat mendukung arus kas bagi KIK EBA.
Pefindo juga menggarisbawahi adanya kemungkinan keterlambatan realisasi bantuan program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN sebesar Rp8,5 triliun, yang seharusnya dapat mendukung operasional GIAA selama 3-6 bulan ke depan.
“Peringkat KIK-EBA dapat kembali diturunkan jika pendapatan dan arus kas GIAA semakin memburuk, yang dalam pandangan kami meningkatkan risiko non-pembayaran kupon KIK EBA dan kewajiban pokok yang diamortisasi,” tulis Pefindo.
Namun, outlook dapat direvisi menjadi “stabil” jika perbaikan dan stabilisasi profil kredit perseroan kembali terjadi seiring tren lalu lintas penumpang udara yang meningkat dan berkelanjutan dan/atau berkurangnya tekanan pada beban keuangan GIAA yang mungkin berasal dari realisasi dukungan pemerintah.
Sementara itu, Pefindo menyebut keamanan utang dengan peringkat idBB menunjukkan parameter perlindungan yang agak lemah dibandingkan dengan peringkat hutang Indonesia pada umumnya.
Pasalnya, kapasitas obligor untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang rentan terhadap ketidakpastian yang sedang berlangsung atau eksposur terhadap bisnis, keuangan, atau kondisi ekonomi yang merugikan, yang dapat mengakibatkan kapasitas obligor yang tidak memadai untuk memenuhi komitmen keuangannya pada obligasi. keamanan hutang.
Peringkat tersebut mencerminkan penghentian rute Timur Tengah (MEA) GIAA, cakupan arus kas yang sangat lemah, profil kredit dan likuiditas yang sangat lemah karena COVID-19, dan sifat siklus yang tinggi dari industri penerbangan.
Namun, peringkat tersebut sebagian dibatasi oleh jaminan Askrindo untuk pokok KIK EBA Mandiri GIAA01.
Seperti diketahui, GIAA sebagai penggagas KIK EBA tersebut menjual hak atas arus kas masa depan senilai Rp2,615 triliun dari rute MEA ke kontrak investasi kolektif (KIK) yang didirikan oleh MMI sebagai manajer investasi, dan PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII, idAAA / stable) sebagai bank kustodian.
Adapun, aset yang mendasari transaksi tersebut adalah arus kas masa depan lima tahun dari rute Timur Tengah (MEA) GIAA yang menghubungkan kota-kota di Indonesia ke Jeddah dan Madinah, sebagian besar untuk keperluan umroh.
Sumber Bisnis, edit koranbumn