Serikat Karyawan Garuda (Sekarga), Asosiasi Pilot garuda (APG), dan Ikatan Awak Kabin Indonesia (Ikagi) tergabung dalam Sekretariat Bersama Karyawan Garuda Indonesia menyurati Presiden dan pihak terkait lainya terkait strategi penyelamatan Garuda Indonesia. Surat tersebut dikirimkan dengan memberikan penjelasan opsi penyelamatan Garuda versi para pekerja yang dinamakan Penyelamatan dengan Semangat Merah Putih, Nasionalisme Harga Mati.
“Ya, kami kirimkan suratnya hari ini,” kata Ketua Harian Sekarga Tomy Tampatty kepada Republika, Rabu (2/6).
Tak hanya kepada presiden, surat tersebut juga dikirimkan kepada MPR, DPR, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Menteri Ketenagakerjaan. Surat tersebut juga dikirimkan kepada Ketua BPK, KPK, Kapolri, Jaksa Agung, hingga direksi dan komisaris Garuda Indonesia.
Tomy mengatakan, pembahasan penyelamatan kelangsungan Garuda Indonesia selama ini tidak menyentuh akar permasalahan utama. “Selama ini pembahasannya hanya berorientasi pada permasalahan kerugian yang dialami dan berapa banyak dana talangan yang harus dipinjamkan kepada Garuda Indonesia,” kata Tomy.
Padahal, menurutnya akar permasalahan Garuda Indonesia selama ini yakni ketidakpastian dan ketidakjelasan posisi negara serta dukunganya. Tomy mengatakan, serikat pekerja menilai Garuda Indonesia hanya dipandang dari persoalan bisnisnya saja sehingga parameter yang digunakan hanya dari sisi pendapatan dan kerugiaan perusahaan.
“Seharusnya selain dilihat dari sisi kinerja bisnisnya, Garuda Indonesia juga harus dilihat dari statusnya sebagai maskapai nasional yang menghubungkan Indonesia sebagai negara kepulauan,” ungkap Tomy.
Dalam opsi tersebut, Tomy menegaskan, negara harus mempunyai sikap yang jelas terhadap status maskapai nasional Garuda Indonesia. Dia mengatakan, dukungan nyata yang harus dilakukan adalah negara melakukan reformasi dengan meninjau kembali semua kebijakan dan regulasi terkait rute domestik, golden route, dan golden time yang seharusnya 60 persen dikuasai oleh negara melalui maskapai pelat merahnya.
“Perlakuan seperti ini menjadi hal yang biasa dilakukan di beberapa negara. Dimana negara sangat memproteksi kelangsungan maskapai nasionalnya,” ujar Tomy.
Sumber Republika, edit koranbumn