Menipisnya margin bisnis gas bumi dinilai bakal menjadi ancaman bagi pembangunan infrastruktur gas bumi ke depan. Sementara dengan terbatasnya cadangan minyak dan melimpahnya cadangan gas, pembangunan infrastruktur gas sangat dibutuhkan untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Reforminer Institute mengatakan bahwa dengan kondisi harga gas yang murah dan diikuti oleh ketidakjelasan pasar, akan membuat tingkat return of investment (RoI) proyek pembangunan infrastruktur gas bumi menjadi lama.
“Sebab, makin rendah harga gas, maka semakin tipis margin yang bisa didapat pengembang. Ini yang akan menyulitkan pelaku usaha membangun infrastruktur baru,”ujarnya seperti dikutip, Jumat (27/11/2020).
Menurutnya penurunan harga gas di tengah masa pandemi Covid-19 belum memberikan dampak signifikan bagi industri pengguna. Sebab, penurunan harga gas itu tidak mendongkrak volume produksi maupun penjualan industri pengguna gas.
Dia melihat penurunan harga gas yang diinisiasi pemerintah lewat Kementerian ESDM sangat terburu-buru dan terkesan hanya untuk memenuhi peraturan yang sudah lama dibuat, tapi tidak kunjung terlaksana.
Sebelumnya, kata dia, pemerintah telah menerbitkan Perpres No.40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Dalam Perpres itu, pemerintah menetapkan harga gas bumi yang sebelumnya US$7 per Million British Termal Unit (MMBTU) diturunkan menjadi US$6 per MMBTU.
Lalu, pada 6 April 2020 Menteri ESDM merilis Permen ESDM No.8/2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Pasal 3 ayat 1 peraturan itu mengatur harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar US$6 per MMBTU.
Ada tujuh sektor industri yang dapat harga khusus dari kebijakan tersebut, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan industri sarung tangan karet. Sebagai dampak kebijakan itu pemerintah merelakan jatahnya dari penjualan migas di hulu, dipangkas sekitar US $2 per MMBTU.
Menurutnya kebijakan pemerintah memangkas harga gas bumi untuk industri tertentu di level US$6 per MMBTU memang jadi bumerang, jika tidak didukung insentif bagi pengembang infrastruktur gas bumi.
Karena, lanjut dia, dengan margin yang terbatas, perusahaan akan lebih memilih risiko terendah, yaitu mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya.
Komaidi mengatakan akan sangat berat jika memaksa perusahaan yang marginnya terpangkas kebijakan pemerintah untuk membangun infrastruktur gas bumi, kecuali ada insentif yang memberikan solusi bagi pengembang infrastruktur, bahwa bisnis mereka tetap sehat ketika ekspansi.
“Kalau investor melihat investasi di tempat lain, misalnya, bisa dapat IRR 12 persen, sementara di infrastruktur gas bumi IRR-nya lebih rendah, maka tidak akan ada investor yang mau berinvestasi untuk mengembangkan infrastruktur gas,” papar dia.
Menurutnya dengan melambatnya pengembangan infrastruktur gas, pada akhirnya target Pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik sulit terealisasi karena infrastrukturnya tidak tumbuh
Dia menilai pembangunan infrastruktur gas bumi memang memiliki resiko besar. Selain faktor ketersediaan pasokan, penyerapan gas oleh konsumen juga menjadi risiko. Sementara biaya pembangunan infrastruktur gas sangat mahal.
“Banyak infrastruktur gas yang telah dibangun gagal dioptimalkan karena tidak adanya pasokan dan pasar yang seimbang. Yang terjadi kemudian pengembang infrastruktur gas harus menanggung biaya yang mahal. Kondisi ini yang membuat sedikit sekali perusahaan swasta yang mau membangun infrastruktur gas bumi,” ujarnya.
Pada sisi lain kebijakan harga gas US$6 terbukti menguntungkan sejumlah perusahaan swasta, seperti misalnya PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) yang pada kuartal III/2020, laba bersihnya melesat 38,31 persen menjadi Rp221,5 miliar dibandingkan periode sama 2019.
Sumber Bisnis, edit koranbumn