Proyek gasifikasi batubara yang digarap oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit AsamTbk (PTBA) masih berlangsung. Saat ini kedua perusahaan sedang melakukan kajian skema mana yang tepat antara kerjasama kedua perusahaan dengan investor, Air Product.
Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Hasto Wibowo menjelaskan ada beberapa skema kerja sama yang sedang dijajaki serius antara Pertamina, Bukit Asam, dan Air Product. Skema pertama, Bukit Asam fokus menghasilkan batu bara kalori rendah dan Pertamina membeli batu bara yang diproduksi tersebut.
Pertamina kemudian menyerahkan batu bara tersebut ke Air Product untuk diproses dengan fee tertentu. Produksi DME tersebut nantinya akan didistribusikan menggunakan jalur eksisting milik Pertamina.
“Skema yang lain adalah skema kedua, Pertamina sebagai offtaker murni, dimana Pertamina membeli DME,” ujar Hasto dalam diskusi, Selasa (9/3).
Hasto menjelaskan selain melakukan kajian skema mana yang tepat untuk dilakukan perusahaan ini pertamina secara paralel juga sedang melakukan kajian awal rencana implementasi 100 persen DME di masyarakat. Skema 100 persen DME lebih berisiko terjadinya shortfall produk DME di masyarakat apabila ada kegagalan produksi dari pabrik.
Namun, meski begitu baik Pertamina maupun PTBA tetap komit untuk merealisasikan proyek ini. Direktur Pengembangan Bisnis Bukit Asam Fuad IZ Fachroeddin menjelaskan proyek ini merupakan proyek yang sangat stratgis. Apalagi, kata Fuad selama ini banyak produk batu bara kalori rendah yang belum termanfaatkan.
“Kami sudah punya road map pengembangan batu bara. Intinya, pada 2025 nanti, akan melakukan empat inisiatif, salah satunya hilirasasi batu bara menjadi DME,” jelas Fuad.
Fua menjelaskan nilai tambah dari proyek coal to DME ini, selain total investasi yang masuk sebesar 2,1 miliar dolar AS dan pemanfatan 180 juta batu bara kalori rendah, juga manfaat langsung yang didapatkan pemerintah sebesar Rp 800 miliar setiap tahun atau 24 triliun selama 30 tahun.
“Nilai tambah langsung lainnya yakni menghemat neraca perdagangan, mengurangi impor epliji sebesar 1 juta ton setiap tahun dan mengfhemat cadangan devisa negara sebesar Rp 9,71 triliun per tahun atau Rp 290 triliun selama 30 tahun,” ujar Fuad.
Direktur Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Sujatmiko menjelaskan Pemanfaatan batubara menjadi DME yang dilakukan PTBA bekerjasama dengan Pertamina, diharapkan mampu mengurangi impor LPG.
Sujatmiko memperkirakan, kebutuhan gasifikasi batubara sekitar 700 ribu ton batubara setiap bulan. Sejak 2021 sampai 2040, diperkirakan kebutuhan batubara untuk gasifikasi sebanyak 34 juta ton, baik untuk ethanol, DME maupun produk turunan lainnya. “Kalau proyek hilirisasi ini dijalankan, kebutuhan batubara setiap tahunnya bisa kita planning,” ujarnya.
Sumber Republika, edit koranbumn