Pemerintah berencana menggelontorkan dana Rp125,19 triliun untuk menopang kinerja sejumlah BUMN yang menjadi pesakitan akibat dampak pandemi Covid-19.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, dukungan tambahan untuk BUMN tersebut akan diberikan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana ini akan diberikan lewat beberapa skema kepada 12 BUMN, sesuai dengan kondisi masing-masing.
Dalam data terbaru tersebut, dana untuk BUMN lewat program PEN mengalami kenaikan dari rencana sebelumnya. Terakhir kali, informasi yang beredar adalah nilai bantuan akan mencapai Rp121,73 triliun. Kali ini, rencana alokasi meningkat menjadi Rp125,19 triliun.
Selain itu, skema yang dipilih juga menjadi lebih sempit. Opsi pemberian dana talangan modal kerja melalui penempatan dana pemerintah pada bank peserta dihilangkan. Kini pendanaan itu hanya akan diberikan melalui investasi non-permanen pemerintah via special mission vehicle (SMV) Kemenkeu.
Di luar itu, terdapat juga perubahan dalam skema dukungan tambahan pada Program PEN. Kemenkeu kini mengalokasikan dana Rp3,46 triliun untuk PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam bentuk subsidi. Pada data sebelumnya, perseroan hanya akan mendapatkan dukungan berupa kompensasi Rp38,25 triliun.
Sementara itu, 12 BUMN penerima bantuan dalam program PEN tetap sama seperti pada data Kemenkeu sebelumnya. PLN dan PT Pertamina (Persero) akan mendapatkan kucuran dana paling besar, sementara PT Permodalan Nasional Madani (Persero) paling kecil.
Dalam data terbaru ini, Kemenkeu juga menjelaskan urgensi pertimbangan pemberian bantuan kepada enam dari 12 BUMN tersebut. Urgensi ini menentukan bentuk dukungan, skema dukungan, dan potensi dampak apabila dukungan tidak berikan kepada BUMN tersebut.
Untuk PLN, pemerintah memberikan dukungan karena perusahaan setrum itu tengah menjalankan beberapa penugasan seperti percepatan proyek 35 Gigawatt (GW), EBTKE, dan tarif tetap sejak 2017.
Selain itu, urgensi pemberian dukungan juga disebabkan oleh eksposur risiko fiskal pemerintah atas penjaminan yang cukup tinggi. Nilainya disebutkan mencapai Rp450 triliun.
Tanpa dukungan, risiko yang dikhawatirkan akan terjadi adalah potensi risiko reputasi negara atas kontrak-kontrak PLN. Selain itu, rasio cakupan layanan utang dikhawatirkan turun ke level di bawah 1 pada kuartal IV/2020 dan arus kas dikhawatirkan menjadi negatif dan berimbas pada belanja operasional yang tidak terpenuhi.
PT Hutama Karya (Persero) dan Perum Bulog juga memiliki urgensi yang hampir sama. Status pengemban penugasan strategis dari pemerintah, membuat kedua perusahaan dinilai perlu mendapatkan dukungan pendanaan dari pemerintah.
Setali tiga uang, Pertamina juga mendapatkan bantuan karena alasan yang penugasan pemerintah. Namun, terdapat tambahan urgensi lainnya, yakni eksposur risiko pinjaman perbankan sebesar US$1 juta yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Sementara itu, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. memiliki urgensi berbeda untuk dukungan ini. Posisi keduanya yang merupakan perusahaan terbuka juga membuat skema pemberian dukungan berbeda dibandingkan empat BUMN yang disebutkan sebelumnya.
Garuda akan mendapatkan dana talangan modal kerja paling banyak Rp8,5 triliun lewat SMV Kemenkeu. Skema ini diambil karena pilihan PMN tidak cukup favourable untuk para pemegang saham minoritas emiten berkode saham GIAA tersebut.
Sebagai perusahaan terbuka, pemerintah hanya memiliki 60,54 persen saham di Garuda. Pemegang saham terbesar kedua adalah PT Trans Airways, perusahaan milik konglomerat Chairul Tanjung, sebesar 25,8 persen. Adapun, sisanya dimiliki oleh publik dengan persentase di bawah 5 persen.
Urgensi untuk pemberian modal kerja ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perseroan merupakan maskapai nasional kebanggaan Indonesia. Selain itu, perusahaan dinilai berkontribusi cukup besar terhadap menghubungkan daerah kepulauan di Indonesia.
Pemerintah juga menyatakan bahwa pemberian bantuan perlu dilakukan untuk menghindarkan perseroan dari risiko pailit atau berhenti beroperasi. Jika sampai terjadi, hal ini dikhawatirkan akan menghasilkan adanya monopoli di industri penerbangan Tanah Air.
Perseroan memang tengah mengalami masalah berat di tengah pandemi. Pendapatan perseroan menukik tajam seiring berkurangnya aktivitas bepergian masyarakat. Sementara itu, beban operasional tetap berjalan. Perseroan juga tengah terlillit persoalan utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Krakatau Steel juga memiliki duduk perkara yang hampir sama. PMN tidak mungkin dilakukan karena perseroan merupakan perusahaan terbuka, 20 persen sahamnya dipegang oleh publik. Opsi ini tidak dikehendaki para pemegang saham nonpemerintah tersebut.
Adapun dari sisi urgensinya, pemberian bantuan dilakukan karena perseroan dianggap berperan strategis di industri baja. Industri ini dianggap sebagai mother industry sehingga negara harus tetap memiliki pabrik baja yang kuat.
Emiten berkode saham KRAS ini juga dinilai telah banyak mendukung dan menggerakkan industri hilir dan industri pengguna di sektor baja. Perseroan juga dibutuhkan untuk menjaga persaingan di industri dengan baja impor. Selain itu, Krakatau Steel dinilai berperan besar dalam membantu menopang neraca perdagangan Indonesia.
Kekhawatiran terbesar yang diantisipasi pemerintah apabila tidak memberikan dukungan ini adalah gagalnya proses restrukturisasi utang seniali US$2 miliar. Restrukturisasi ini diikuti dengan rencana divestasi anak usaha secara bertahap selama selama 3 tahun, sejak 2019.
Skema restrukturisasi utang KRAS terbagi dalam tiga skema, yakni Tranche A dan Tranche C2 senilai masing-masing US$220 juta dan US$262 juta dengan tenor 9 tahun, Trance B senilai US$735 juta dengan tenor 3 tahun, dan Tranche C1 senilai US$789 juta dengan tenor 9 tahun.
Kondisi Covid-19 juga telah memperburuk kinerja perseroan pada 2020. Kinerja perseroan melemah setelah total permintaan baja nasional mengalami koreksi cukup signifikan. Hingga Mei, penurunan permintaan diperkirakan mencapai lebih dari 60 persen dari posisi pada periode yang sama tahun lalu.
Sumber Bisnis, edit koranbumn