Petrokimia Gresik terus berupaya meningkatkan kinerja serta akselerasi program hilirisasi produk melalui pembangunan pabrik baru guna bisa meraih pertumbuhan berkelanjutan.
Ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19 telah menjadi stimulus bagi industri pupuk dan pangan dalam negeri, khususnya Petrokimia Gresik untuk memperkuat sektor produksi pertanian domestik sebagai penopang ketahanan pangan nasional.
Direktur Utama Petrokimia Gresik Dwi Satriyo Annurogo, menyatakan pertumbuhan sektor pertanian sejalan dengan peningkatan kinerja Petrokimia tahun 2020. Perusahaan ini membukukan laba sebesar Rp1,42 triliun (audited) atau 118% dari target RKAP 2020.
“Kinerja positif Petrokimia Gresik di tahun 2020 merupakan wujud kontribusi nyata perusahaan dalam mendukung pemerintah memperkuat ekonomi nasional di tengah pandemi Covid-19,” ujar Dwi Satriyo dalam keterangan resminya, Sabtu (10/7).
Tidak hanya di pasar domestik, adanya global supply shock juga memberikan peluang Petrokimia Gresik untuk melakukan ekspansi pasar dan menggenjot ekspor. Terbukti selama tahun 2020, penjualan ekspor Petrokimia Gresik mencapai 494.000 ton, meningkat 25% dari penjualan ekspor tahun 2019. Bahkan Petrokimia Gresik mampu menguasai market share pupuk NPS di India sebesar 35%.
Dwi Satriyo mengungkapkan bahwa selama 49 tahun berdiri, Petrokimia Gresik telah memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan teknologi pemupukan di Indonesia. Diantaranya menjadi pioneer pupuk berbasis fosfat pada tahun 1980an, pioneer pupuk NPK berbasis chemical reaction di tahun 2000, dan pioneer pupuk organik di tahun 2005.
“Tahun 2021 juga menjadi tonggak sejarah baru bagi Petrokimia Gresik, dimana kami telah melakukan sederet langkah strategis untuk meningkatkan daya saing sekaligus kontribusi dalam memperkuat ekonomi nasional,” ujar Dwi Satriyo.
Salah satu yang telah terealisasi di tahun ini adalah pembangunan pabrik Green Surfactant berkapasitas 600 kiloliter (kL) yang memanfaatkan gas SO3 dari pabrik asam sulfat sebagai bahan baku. Green Surfactant merupakan produk surfaktan lokal pertama di Indonesia yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi lapangan minyak tua melalui teknologi EOR (Enhanced Oil Recovery).
Selanjutnya, Petrokimia Gresik akan membangun pabrik Soda Ash berkapasitas 300.000 ton. Soda Ash merupakan bahan baku produk-produk yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari seperti deterjen, kaca dan produk turunannya, hingga pasta gigi. Namun, kebutuhan Soda Ash dalam negeri saat ini masih dipenuhi melalui impor.
Soda Ash merupakan strategi meningkatkan nilai tambah dari produk samping. Pabrik ini nantinya akan memanfaatkan CO2 yang merupakan hasil samping (by product) dari Pabrik Amoniak.
Sedangkan, produk samping Soda Ash berupa Amonium Klorida (NH4Cl) dapat digunakan sebagai bahan baku NPK, sehingga dapat mengurangi kebutuhan impor ZA sebagai bahan baku NPK.
Petrokimia Gresik juga berhasil mendapatkan izin pengecualian gipsum dari kategori Limbah B3 oleh Kementerian KLHK, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara masif, tidak hanya di lingkup internal perusahaan, tetapi juga dapat mendukung industri lainnya yang membutuhkan gipsum.
“Ke depan, pengembangan bisnis dengan optimalisasi potensi yang ada akan difokuskan pada hilirisasi produk untuk memperkuat posisi Petrokimia Gresik sebagai perusahaan berbasis related diversified industry agar terus tumbuh dan sustainable,” jelas Dwi Satriyo.
Sumber Kontan, edit koranbumn