PT Pelindo Jasa Maritim, Subholding PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo Group berhasil meraih kepercayaan pasar melalui Standarisasi Operasi MEPS (Marine, Equipment and Port Services) untuk service excellence, dan penambahan kerja sama pemanduan serta penundaan.
Direktur Utama Subholding Pelindo Jasa Maritim (SPJM), Prasetyadi mengatakan, pasca merger dan terbentuknya PT Pelindo Jasa Maritim sebagai salah satu subholding, SPJM fokus pada bisnis di bidang jasa layanan kapal, kelautan, peralatan, dan jasa kepelabuhanan lainnya seperti pengerukan, utilitas dan energi.
“Pasca penggabungan Pelindo dan terbentuknya SPJM, memberikan value creation bagi Perusahaan dan customer, antara lain Pengembangan Layanan Tambahan MEPS yang sudah mencapai 124% dari target tahun 2022, dan Operasi Layanan MEPS di TUKS atau Tersus yang sudah mencapai 370% dari target tahun ini,” kata Prasetyadi.
Kondisi tersebut menurut dia, menumbuhkan rasa percaya konsumen pengguna jasa kepada SPJM. Di mana hingga saat ini pihaknya juga telah melakukan serah terima operasi sarana bantu dan prasarana pemanduan kapal melalui tiga tahapan. “Yaitu Tahap I pada 1 Januari 2022, Tahap II pada 1 Februari 2022 dan Tahap III pada 1 Maret 2022,” sebutnya.
Sekretaris Perusahaan SPJM, Tubagus Patrick juga menuturkan, selama satu tahun Pelindo merger dan SPJM mulai menjalankan bisnisnya sebagai subholding yang menangani jasa energi di pelabuhan, pihaknya telah berhasil melakukan elektrifikasi di Terminal Petikemas Bitung.
“Kami menargetkan program elektrifikasi di semua pelabuhan. Alhamdulillah untuk di Terminal Petikemas Bitung sudah terlaksana, di mana pekerjaan elektrifikasi empat unit container crane telah berhasil direalisasikan,” ujar Patrick.
Dia mengatakan, elektrifikasi yang dilakukan pihaknya selain untuk mencapai program green port, tentunya juga untuk mengurangi polusi udara dan juga mencapai efisiensi yang diharapkan.
“Tentunya program elektrifikasi ini tak hanya untuk dinikmati SPJM, namun juga untuk seluruh Pelindo Group,” tambahnya.
Direktur Utama PT Equiport Inti Indonesia (EII), anak usaha SPJM, Muhammad Ayub Rizal menuturkan bahwa saat ini pelabuhan di seluruh dunia sedang menghadapi hambatan terkait dengan menurunnya kualitas lingkungan, namun pelabuhan juga dituntut untuk terus beroperasi menjalankan aktivitasnya untuk melayani jasa perdagangan dunia yang semakin meningkat.
“Oleh karena itu, untuk menjaga keberlanjutan proses maritime logistics khususnya jasa kepelabuhanan, maka pelabuhan harus mampu beradaptasi terhadap perubahan tersebut dengan mengembangkan konsep Green Port,” kata Ayub.
Green Port merupakan suatu konsep baru dalam pengembangan pelabuhan berkelanjutan yang mengintegrasikan aspek kelestarian lingkungan, konservasi energi, community development, dan kepentingan ekonomi dari pelabuhan itu sendiri. Konsep green port telah menjadi komitmen pelabuhan-pelabuhan di dunia untuk mengurangi emisi karbon.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menuju green port ialah elektrifikasi. Elektrifikasi merupakan proses repowering pada suatu komponen dengan menggunakan listrik. Elektrifikasi Quay Container Crane (QCC) dilakukan dengan mengubah sumber energi utama yang awalnya bersumber dari Generator Set menjadi sumber listrik PLN.
Ayub mengatakan, elektrifikasi yang dilakukan pada empat unit Container Crane di Terminal Petikemas Bitung atau TPB adalah salah satu inisiatif strategis dari SPJM untuk menyumbangkan value creation bagi Pelindo Gruop dengan meningkatkan efisiensi terhadap penggunaan biaya bahan bakar minyak (fossil fuel), meningkatkan efesiensi terhadap biaya pemeliharaan dan meningkatkan pelayanan yang handal bagi pelanggan, serta sebagai upaya untuk mendukung program green port.
Menurut dia, elektrifikasi dilakukan pada unit QCC dan membangun unit power house. Pada unit QCC dilakukan dengan menambahkan komponen atau perangkat transformer, cable reel, switching gear, distribusi dan harmonic filter. Power house dan QCC dihubungkan dengan cable distribusi dan tersambung pada cable reel di unit QCC.
“Sebagaimana telah disebutkan di atas, salah satu tujuan penting dari kegiatan ini tentunya melakukan konversi penggunaan fossil fuel untuk QCC yang dapat mencapai rata-rata 80 liter per jam per unit. Disamping itu, berdasarkan best practice dari pelabuhan lain baik di Indonesia maupun secara global, penggunaan diesel on board pada unit QCC kebanyakan diaplikasikan jika sumber energi listrik dari pembangkit di area tersebut tidak memadai untuk mensuplai kebutuhan listrik pada QCC yang rata-rata sebesar 1 Megawatt,” bebernya.
Namun tentunya lanjut Ayub, hal yang tidak kalah penting adalah melakukan efisiensi biaya dari penggunaan BBM yang harganya fluktuatif serta membutuhkan biaya pemeliharaan pada genset yang cukup besar belum lagi dampak atau potensi trouble pada unit kontrol QCC karena suplai daya yang tidak kontinyu (daya listrik hanya tersedia saat genset on), dibandingkan dengan penggunaan listrik dari pembangkit PLN yang dapat secara kontinyu menyediakan daya untuk operasional sistem kontrol di QCC.
Adapun target efisiensi biaya dengan penggunaan tenaga listrik dari PLN atau elektrifikasi sebut Ayub, sebesar 30% untuk setiap jam pengoperasian QCC.
PT Equiport Inti Indonesia atau PT EII yang merupakan salah satu anak usaha dari SPJM, dipercayakan untuk melaksanakan kegiatan dimaksud. Dalam pelaksanaan kegiatan elektrifikasi ini, PT EII bekerja sama dengan beberapa mitra strategis yang merupakan agen atau distributor dari brand Conductix Wamfler, Danfoss, Bambang Djaya, Schneider, dan Kabel Metal Indonesia.
Sampai dengan September 2022 lanjut dia, progress fisik pekerjaannya telah mencapai kisaran 90%. Salah satu potensi penghambat pengoperasian hasil elektrifikasi di TPB adalah belum tersedianya sambungan listrik dari PLN yang menyebabkan sistem elektrifikasi yang sudah hampir rampung tidak dapat dilakukan commissioning dan testing.
Dia berharap ke depannya, PT Equiport Inti Indonesia yang telah memiliki pengalaman untuk kegiatan eletrifikasi dapat dipercayakan kembali untuk melakukan kegiatan eletrifikasi pada unit QCC dan RTG pada pelabuhan-pelabuhan di bawah kelolaan Regional 4, terutama di area Kalimantan dan Sulawesi yang ketersediaan energi listrik PLN-nya masih berlebih.