Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB dan merevisi outlook menjadi negatif pada 17 April 2020. Dalam laporannya S&P menyatakan peringkat Indonesia dipertahankan pada BBB karena tatanan kelembagaan yang stabil, prospek pertumbuhan ekonomi yang kuat, dan kebijakan fiskal yang secara historis cukup prudent.
Sementara itu, outlook negatif mencerminkan ekspektasi S&P bahwa dalam beberapa waktu ke depan Indonesia menghadapi kenaikan risiko eksternal dan fiskal akibat meningkatnya kewajiban luar negeri dan beban utang pemerintah untuk membiayai penanganan pandemi COVID-19.
“Outlook negatif ini diyakini bukan cerminan dari permasalahan ekonomi yang bersifat fundamental, tetapi lebih dipicu oleh kekhawatiran S&P terhadap risiko pemburukan kondisi eksternal dan fiskal akibat pandemi COVID-19 yang bersifat temporer,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, dalam keterangan tertulis, Jumat (17/4/2020).
Menurut Perry, keyakinan ini didasarkan pada fakta bahwa, sampai dengan beberapa saat sebelum COVID-19 meluas ke seluruh dunia, kepercayaan investor dan lembaga pemeringkat internasional terhadap prospek dan ketahanan ekonomi Indonesia masih sangat tinggi. Selain itu, didukung oleh konsistensi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi struktural, kepercayaan tersebut antara lain tampak pada aliran masuk modal asing yang sangat deras dan rangkaian kenaikan peringkat yang diberikan kepada Indonesia oleh berbagai lembaga pemeringkat terkemuka di dunia.
pertama ketahanan sistem keuangan Indonesia yang saat ini tetap kuat dan terjaga dengan baik, suatu kondisi yang sangat berbeda dibandingkan ketika Indonesia menghadapi krisis Asia 1997 dan krisis keuangan global 2008.
Menurut catatan BI hingga triwulan I 2020, kepercayaan sebagian besar lembaga pemeringkat terhadap Indonesia tetap kuat, bahkan ada yg membaik. Fitch pada Januari dan Moody’s pada Februari memutuskan untuk mempertahankan peringkat Indonesia masing-masing pada BBB dengan outlook Stabil dan Baa2 dengan outlook Stabil. JCRA dan R&I, masing-masing pada Januari dan Maret, bahkan kembali menaikkan peringkat Indonesia menjadi BBB+ dengan outlook Stabil.
Perry menambahkan ketidakpastian kondisi ekonomi dan keuangan saat ini merupakan fenomena global dan Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara yang telah mengambil langkah-langkah kebijakan fiskal, moneter, dan keuangan untuk mengatasi dampak negatif penyebaran COVID-19 terhadap stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
“Bank Indonesia meyakini bahwa berbagai langkah kebijakan tersebut akan dapat mengembalikan trajectory ekonomi Indonesia, baik dari sisi pertumbuhan, eksternal, maupun fiskal, ke arah yang lebih sustainable dalam waktu yang tidak terlalu lama,” tutur Perry.
Keyakinan tersebut ditopang oleh beberapa faktor pendukung, yaitu
Kedua, komitmen Pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjalankan disiplin fiskal dan disiplin moneter sebagaimana track record Indonesia selama ini.
Ketiga, keberadaan berbagai kerjasama internasional yang telah dijalin oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, baik dalam bentuk Jaring Pengaman Keuangan Internasional maupun komitmen pembiayaan dari berbagai negara mitra dan lembaga keuangan internasional.
Indikasi bahwa perekonomian Indonesia dalam waktu yang tidak terlalu lama akan kembali ke trajectory yang lebih sustainable tampak pada hasil assesment terkini yang baru saja dirilis oleh Bank Indonesia pasca Rapat Dewan Gubernur 13-14 April 2020. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, dampak negatif dari kontraksi ekonomi global dan upaya pencegahan penyebaran COVID-19 diprakirakan terjadi terutama pada triwulan II dan III 2020, untuk kemudian mulai membaik pada triwulan IV 2020.
Sejalan dengan itu, pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi 2,3% pada 2020 dan meningkat lebih tinggi pada 2021. Dari sisi eksternal, berkurangnya kebutuhan impor barang dan jasa transportasi serta pembayaran imbal hasil investasi menyebabkan berkurangnya defisit transaksi berjalan sehingga memperkecil kebutuhan pembiayaan dari luar negeri secara signifikan. Oleh karenanya, prospek Neraca Pembayaran Indonesia 2020 diprakirakan tetap baik sehingga dapat memperkuat ketahanan sektor eksternal.
Ketahanan sektor eksternal juga ditopang oleh cadangan devisa yang pada akhir Maret 2020 berjumlah 121,0 miliar dolar AS, atau setara dengan pembayaran 7,0 bulan impor dan kewajiban utang luar negeri Pemerintah, dan akan meningkat pada akhir April 2020. Kondisi ini berdampak positif terhadap nilai tukar Rupiah yang diprakirakan bergerak stabil dan cenderung menguat ke arah Rp15.000 per dolar AS pada akhir 2020, disertai laju inflasi yang tetap rendah dan stabil dalam kisaran sasaran 3,0%±1% pada 2020 dan 2021.
Di sektor keuangan, di tengah perlambatan ekonomi, stabilitas sistem keuangan tetap terjaga seperti tercermin pada rasio kecukupan modal (CAR) perbankan Februari 2020 yang tinggi, yakni 22,27%, dan rasio kredit bermasalah (NPL) yang rendah, yakni 2,79% (gross) dan 1,04% (net). Kepercayaan investor internasional juga berangsur-angsur pulih kembali sebagaimana ditunjukkan oleh keberhasilan Pemerintah Indonesia pada awal April 2020 menerbitkan obligasi di pasar keuangan global dalam jumlah yang cukup besar dan harga yang wajar di tengah kondisi yang masih dipenuhi ketidakpastian yang tinggi.
Selaras dengan asesmen Bank Indonesia, S&P memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat menjadi 1,8% pada tahun ini sebagai dampak dari pandemi COVID-19 sebelum membaik secara kuat pada satu atau dua tahun ke depan. Keputusan Pemerintah untuk mengeluarkan sejumlah langkah kebijakan fiskal yang berani akan membantu mencegah pemburukan ekonomi jangka panjang. Karenanya, tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang Indonesia diperkirakan akan tetap jauh di atas rata-rata negara peers. Keunggulan dari sisi kinerja ekonomi jangka panjang ini mengindikasikan dinamika ekonomi yang konstruktif di Indonesia.
Di sisi eksternal, S&P memandang nilai tukar Rupiah yang sempat terdepresiasi cukup tajam telah berdampak negatif terhadap sektor eksternal dan meningkatkan biaya utang luar negeri sehingga dapat mempengaruhi kemampuan Pemerintah dalam membayar kewajibannya.
Meskipun demikian, S&P meyakini Indonesia dapat mengelola risiko tersebut mengingat dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mempunyai akses yang besar dan berkelanjutan ke pasar keuangan dan penanaman modal asing, bahkan ketika situasi pasar keuangan sedang bergejolak.
S&P juga memandang fleksibilitas nilai tukar Rupiah akan memberikan manfaat bagi daya saing eksternal Indonesia selama beberapa tahun ke depan dan memperbesar ruang bank sentral dalam menjaga cadangan devisa. S&P memperkirakan nilai tukar Rupiah akan secara bertahap menguat seiring dengan kondisi pasar keuangan global yang berlanjut stabil hingga akhir 2020.
Di sisi fiskal, kenaikan defisit fiskal akan memperbesar jumlah utang Pemerintah dalam beberapa tahun ke depan. Namun, S&P memahami bahwa kenaikan defisit tersebut merupakan dampak dari langkah-langkah extraordinary yang diambil oleh Pemerintah sebagai respons terhadap guncangan eksternal yang sangat tidak mudah diprediksi.
Dukungan fiskal yang kuat dibutuhkan untuk mengelola krisis kesehatan masyarakat akibat wabah COVID-19 yang terus meluas dan untuk memitigasi dampaknya, baik yang bersifat sementara maupun struktural, terhadap perekonomian Indonesia.
Sejak krisis keuangan dunia 2008, banyak bank sentral di negara-negara maju juga diberikan kewenangan yang sama. Karena kewenangan ini hanya digunakan saat situasi pasar keuangan sedang tertekan maka dampaknya terhadap inflasi dan nilai tukar relatif terkendali. Dalam kaitan ini, S&P mengakui bahwa, dengan dukungan independensi yang dimilikinya, Bank Indonesia telah mampu mengelola inflasi pada tingkat yang selaras dengan negara-negara peers.S&P sebelumnya meningkatkan Sovereign Credit Rating Indonesia menjadi BBB dengan outlook Stabil pada 31 Mei 2019.
S&P juga menyoroti peran penting Bank Indonesia dalam mendukung upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meredakan guncangan ekonomi dan keuangan. Perppu, yang baru-baru ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk membeli surat berharga Pemerintah di pasar perdana apabila permintaan pasar dinilai tidak memadai. Hal ini dapat membantu Pemerintah dalam mengelola biaya pinjaman ketika pasar keuangan sedang mengalami gangguan ekstrim.
Sumber Detik, edit koranbumn