Perusahaan milik negara atau BUMN tak imun dari corona (Covid-19). Sejumlah perusahaan negara terpapar efek lanjut corona.
Menteri BUMN Erick Thohir dalam rapat virtual dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jumat (3/4) menyebut, BUMN yang terpapar corona adalah:
Pertama bank-bank BUMN. Paparan corona akan berasal dari kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Banyak debitur yang diproyeksi akan kesulitan membayar utangnya di bank-bank milik negara itu. Tergabung dalam organisasi Himpunan Bank Milik Negara (Himbar) beranggotakan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN).
Kedua, tak hanya bank, BUMN lain seperti PT PLN dan PT Pertamina juga keuangannya terganggu karena corona. Virus corona membuat nilai tukar rupiah ikut melemah. “Kita tahu baik PLN punya bond besarnya Rp 350 triliun dan sebagian besar dollar,” jelas Erick lebih lanjut.
Kondisi ini akan mengharuskan PLN untuk menyiapkan pembayaran bunga dengan nilai yang lebih mahal akibat penguatan dollar AS.
Pertamina juga terkena dampak dari pelemahan rupiah atau penguatan dollar AS. Impor minyak Pertamina dalam dollar AS, sementara penjualan dalam bentuk rupiah. Dalam kondisi seperti ini, arus kas Pertamina bisa terganggu, pun dengan PLN yang mengalami masalah yang sama.
Ketiga, BUMN yang terkait dengan pariwisata juga terpapar corona. Antara lain PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Angkasa Pura, PT Pelindo, PT Pelni hingga ASDP. “Sudah terlihat bahwa kemungkinan tahun ini semua minus (BUMN terkait pariwisata. Ini yang tentu sangat memberatkan,” ujar Erick.
Dalam rapat yang sama, Erick juga menyebut utang-utang BUMN yang jatuh tempo di tahun ini juga akan menjadi tantangan yang berat. Salah satu yang terberat adalah utang jatuh tempo PT Garuda Indonesia Indonesia Tbk sebesar US$ 500 juta. “Dan, kita ketahui, industri penerbangan sedang collapse, sedang rubuh,” ucap dia.
Mengacu laporan keuangan tahun 2019, emiten dengan kode saham GIAA, kewajiban jangka pendek GIAA sebesar US$ 3,26 miliar. Nilai ini setara dengan Rp 53 triliun dengan asumsi kurs Rp 16.400 per dollar AS, di antaranya terdiri dari utang obligasi US$ 498,99 juta dan pinjaman jangka pendek US$ 984,85 juta.
Adapun utang jatuh tempo GIAA yang paling dekat jatuh tempo yakni Juni 2020 sebesar US$ 500 juta. Berdasarkan laporan keuangan, maskapai pelat merah itu memiliki trust certificates yang tidak dijamin dengan nilai US$500 juta.
Instrumen yang terbit atas kerja sama dengan Garuda Indonesia Global Sukuk Limited itu bertenor 5 tahun dan berkupon sebesar 5,95% per tahun. Sertifikat diterbitkan berdasarkan hak untuk perjalanan dan skema keagenan untuk memenuhi ketentuan penawaran syariah.
Dalam pelaksanaannya, The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Limited bertindak sebagai penerima delegasi, agen pembayar utama, pencatat agen pembayar dan agen pemindahnamaan. Sukuk itu tidak diperingkat dan dicatatkan di Bursa Singapura pada Juni 2015.
Artinya, GIAA memilik waktu sekitar 3 bulan untuk merancang mekanisme penyelesaian sukuk global yang bakal jatuh tempo itu.
Keempat, perusahaan BUMN pangan seperti Perum Bulog juga terkena efek corona. Menurut Erick mengatakan, Perum Bulog juga mengalami masalah utang jangka pendek. “Bulog juga tekanan utang jangka pendek karena keterbatasan kas dan penumpukan inventory. Kami sudah bicara, akan digelontorkan untuk rakyat miskin,” ujar Erick
Terakhir, BUMN karya juga terpukul atas kewajiban utang jangka pendek oleh bank-bank milik negara. Erick mengaku sudah membicarakan masalah ini ke Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Semua proyek jangka panjang tapi dibiayai oleh bank milik negara dengan jangka pendek. Kemarin ada, ada solusi Ibu Menkeu kemungkinan akan coba utang jangka pendek dijadikan jangka panjang,” kata dia
Sumber Kontan, edit koranbumn