PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tercatat memiliki aset-aset properti yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, bahkan di pulau yang berbatasan dengan Filipina. Akan tetapi, aset-aset senilai Rp6,7 triliun itu tak kunjung menemukan pembeli.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menjelaskan bahwa perseroan memiliki ‘senjata cadangan’ yang bisa digunakan untuk penyehatan keuangan, yakni aset properti. Sebagai perusahaan asuransi tertua di Indonesia, aset properti Jiwasraya tersebar di mana-mana.
Hampir di setiap wilayah ada kantor Jiwasraya yang bertempat di gedungnya sendiri. Gedung kantor berukuran besar bahkan dapat ditemukan di sejumlah kota besar. Dia menjabarkan aset-aset properti Jiwasraya misalnya berada di Bandung, Yogyakarta, Jember, Surabaya, Banyuwangi, Denpasar, Medan, dan Makassar.
Meskipun gedung-gedung itu berukuran besar, tetapi justru disayangkan keberadaannya oleh Hexana karena ‘tidak ditempati oleh orang’. Menurutnya, kantor-kantor besar itu tidak menunjang operasional bisnis asuransi pada masa kini, yang dapat memanfaatkan berbagai layanan digital. Selain itu, operasional bisnis Jiwasraya pun dipusatkan ke Jakarta, salah satunya karena perseroan menghadapi masalah keuangan yang genting.
“Wuh, [kantor] gede-gede enggak ada orangnya, mau aku jual, tapi siapa mau beli? Asuransi itu enggak butuh banyak orang di daerah, orang itu cuma menunggu kalau ada nasabah mau bertanya atau apa,” ujar Hexana
Jiwasraya bahkan tercatat memiliki aset gedung di penghujung utara Indonesia, yakni di Pulau Sangihe yang berbatasan dengan Filipina. Menurut Hexana, gedung yang terletak di Jalan Malahasa tersebut merupakan salah satu warisan pemerintahan kolonial Belanda saat mendirikan Jiwasraya.
Menurutnya, sebagai perusahaan tertua di Indonesia, sejak pertama didirikan manajemen fokus mengembangkan aset dengan membeli tanah dan membangun gedung. Hal tersebut dilakukan seiring keterbatasan instrumen investasi kala itu.
Saat ini, total aset properti Jiwasraya memiliki nilai Rp6,7 triliun. Dalam kondisi keuangan yang kritis karena adanya utang klaim senilai Rp18 triliun, aset properti itu menjadi harapan sumber dana perseroan.
Hexana menjelaskan bahwa meskipun jumlahnya besar, aset properti sangat sulit dijual dalam kondisi perekonomian yang penuh tekanan akibat pandemi Covid-19. Adapun, dana yang diperoleh perseroan dari penjualan aset properti pun tidak akan langsung digunakan untuk pembayaran klaim.
Menurut Hexana, sumber dana tersebut akan digunakan untuk pengembangan portofolio investasi keuangan. Dalam kondisi tunggakan klaim yang menggunung, perseroan harus memiliki aset yang likuid, bukan seperti properti.
“Jadi kalau perusahaan kayak begini jangan diukur dengan [standar] kondisi normal. Perusahaan yang under restructuring, going concern itu fokusnya sampai ke penyelamatan,” ujarnya.
Sumber bisnis, edit koranbumn