Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih rendah. Untuk itu, semua energi terbarukan akan dikembangkan, namun kecepatannya melihat dari teknologi dan competitiveness teknologi tersebut.
Salah satu pertimbangan Kementerian ESDM dalam mendorong PLTS adalah harganya yang terus turun dan animo yang meningkat di tanah air. Untuk itu, regulasi untuk mendukung pengembangan PLTS sedang dipersiapkan tinggal menunggu selesainya RUPTL. Selain regulasi, salah satu faktor yang dapat menstimulasi pengembangan PLTS di Indonesia adalah insentif.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Chrisnawan Anditya mengatakan perihal insentif yang didapat dalam pemanfaatan PLTS, harus dilihat dahulu tipe-tipenya.
Saat ini ada dua PLTS yang dikembangkan, pertama PLTS yang menjual listriknya kepada PLN sebagai off taker sehingga skema bisnisnya bisa sebagai Independent Power Producer (IPP) atau Private power utility (PPU). Tipe kedua adalah PLTS yang digunakan untuk keperluan pribadi.
Pada tipe pertama, ketika pengembang PLTS menjadi IPP beberapa skema investasi terkait insentif sudah ada dari Kementerian Keuangan. Nanti, di dalam Peraturan Presiden akan menstimulasi kewenangan dari semua kementerian dalam menyukseskan pengembangan EBT.
Chrisnawan mengungkapkan, saat ini sudah ada banyaknya bantuan yang mulai masuk di Indonesia melalui Kementerian Keuangan maupun badan pengelola lingkungan hidup daerah (BPLHD) maupun green finance, dan lainnya. Perihal ini, pihaknya sudah mengupayakan untuk dimanfaatkan oleh pengembang EBT.
“Terkait dari pengembangnya sendiri kami bekerja sama dengan PT SMI. Kita ini diibaratkan sebagai fasilitator, ada keinginan pengembang yang sudah memiliki suatu proyek tapi kesulitan pada pencarian dana, idle jadi pada saat proyek mulai dari awal penyusunan feasibility study (FS) sampai project financing total, bisa kita fasilitasi,” jelasnya dalam webinar bertajuk “Pengembangan PLTS untuk Kemerdekaan Negeri” pada Kamis (26/8).
Chrisnawan memaparkan, ada tiga kriteria pengembangan EBT dimulai dari P1 hingga P3. Perinciannya, P1 adalah entitas yang sudah menyusun FS, melakukan grid impact study, perizinan, dan lainnya. P1 akan dimasukkan dalam RUPTL ditampilkan di neraca daya.
Kemudian, P2 adalah entitas yang baru melakukan pra-FS dan baru mendapat perizinan untuk melakukan FS. P2 tetap masuk dalam RUPTL tapi sebagai potensi EBT. Lantas untuk P3, entitas ini baru mau menyusun FS. P3 akan dimasukkan di dalam data base.
“Upaya P3 bisa menjadi P2 atau P1 didorong bantuan dari luar negeri atau bantuan dari dalam negeri, sehingga bagaimana mereka bisa didampingi untuk pendanaan membuat FS dan sebagainya,” ujar Chrisnawan.
Kemudian untuk tipe PLTS kedua yakni pemegang IUP untuk kepentingan sendiri, artinya tidak untuk diperjualbelikan, pihak KESDM sedang mendorong PLTS atap. Chrisnawan mengungkapkan, saat ini KESDM juga berusaha bekerja sama dengan perbankan dalam negeri untuk memberikan kredit murah, sehingga keinginan masyarakat untuk memasang cukup tinggi.
“Kami juga sudah mendapatkan bantuan sekitar US$ 20 miliar untuk memberikan semacam penurunan investasi, bentuknya seperti kupon yang ditujukan untuk sektor publik, industri dan rumah tangga,” tandasnya.
Sumber Kontsn, rdit koranbumn