Emiten penerbangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk telah melakukan sejumlah strategi guna menekan beban keuangan perseroan, mulai dari renegosiasi biaya sewa pesawat hingga restrukturisasi keuangan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan salah satu yang telah mereka lakukan adalah menegosiasikan penurunan biaya sewa pesawat atau leasing cost yang merupakan salah satu beban terbesar perseroan.
“Alhamdulilah hasilnya cukup menggembirakan, caranya adalah kita menurunkan biaya sewa dan memperpanjang masa sewa,” kata Irfan dalam paparan publik daring, Selasa (15/12/2020)
Dia mengatakan, dengan adanya kesepakatan dengan para lessor atau penyedia persewaan pesawat, diharapkan penurunan biaya sewa dapat mencapai US$12 juta, sehingga beban keuangan perseroan untuk sewa pesawat tahun depan bisa susut menjadi US$104 juta.
Sebagai gantinya, dalam restrukturisasi tersebut, emiten bersandi GIAA ini menyepakati perpanjangan masa sewa pesawat dengan para lessor. Irfan memastikan pihaknya tetap menjaga risiko keselamatan dengan fokus pada kemampuan armada pesawat.
Dia menambahkan, restrukturisasi keuangan perseroan juga sedang dalam proses pembahasan khususnya dengan Pertamina, Angkasa Pura 1, dan Angkasa Pura 2 difasilitasi oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham.
“Restrukturisasi disetujui. Hanya, akan disepakati cara pembayaran untuk tahun 2021, 2022-2023. Porsinya akan dibagi sesuai dengan cash flow. Namun pada dasarnya rekan-rekan kami mendukung program restrukturisasi keuangan,” papar Irfan.
Sementara itu, di sisa tahun ini perseroan tengah melakukan finalisasi proses pencairan dana talangan berupa obligasi wajib konversi (OWK) dari pemerintah dengan nilai maksimal Rp8,5 triliun, yang mana diharapkan dapat cair sebelum akhir tahun ini.
Adapun, Irfan mengatakan berdasarkan diskusi terbaru dengan pemerintah pencairan dana yang merupakan bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) tersebut akan dilakukan bertahap atau parsial hingga 2023 mendatang.
“Ini berdasarkan kemampuan serta aplikasi dari Garuda sehingga tidak menimbulkan wanprestasi atau cidera janji dengan struktur yang ada. Peruntukannya akan spesifik sesuai dengan kebutuhan cash flow dan sisanya untuk operasional usaha,” tutur Irfan.
Kemudian, GIAA juga tidak menutup kemungkinan untuk menerbitkan sukuk baru untuk pembiayaan kembali sukuk yang akan jatuh tempo pada 2023 mendatang.
Seperti diketahui, GIAA melakukan restrukturisasi atas sukuk global senilai US$500 juta yang seharusnya jatuh tempo pada Juni 2020 menjadi diperpanjang hingga 2023. “Kami harapkan pada saatnya bisa dilakukan,” pungkas Irfan.
Untuk diketahui, pandemi Covid-19 berdampak nyata terhadap aktivitas bisnis, salah satunya penerbangan. Kondisi ini pun membuat Garuda Indonesia membukukan kerugian hingga US$1,07 miliar per September 2020. Posisi tersebut berbanding terbalik dibandingkan catatan pada kuartal III/2019 saat GIAA meraup laba bersih US$122,42 juta.
Sumber Bisnis, edit koranbumn