Kementerian Keuangan menyebut pentingnya peran insentif dalam pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia guna mencapai target bauran energi hijau sebesar 23 persen pada 2025.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa target ambisius yang dicanangkan pemerintah itu harus menghadapi sejumlah tantangan yakni mulai dari harga, kepastian regulasi, insentif dalam investasi proyek, hingga sumber pendanaan.
Fabrio mengatakan, pihaknya menyadari pengembangan energi fosil masih lebih murah dibandingkan dengan pengembangan EBT di dalam negeri.
“Untuk itu mekanisme insentif, regulasi harga, dan pendanaan menjadi sangat krusial untuk meningkatkan investasi dalam sektor EBT,” katanya dalam Indonesia EBTKE ConEx 2020, Jumat, (27/11/2020).
Dia memaparkan, terdapat sejumlah hal penting yang bisa mendorong pengembangan sektor EBT di Tanah Air seperti insentif berupa tax holiday, tax allowence, pajak lahan dan bangunan.
Menurut dia, insentif pajak itu bisa menjadi katalis untuk investor masuk untuk menanamkan modalnya di sektor EBT dalam negeri.
“Insentif dalam pengembangan EBT dan kami sedang mengidentifikasi insentif energi terbarukan dari karbon kredit,” jelasnya.
Dalam pengembangan panas bumi, kata Fabrio, pada saat ini yang terpenting adalah pemerintah hadir dalam meminimalisir risiko pada kegiatan eksplorasi bagi para pengembang.
Fabrio mengatakan, dengan adanya pembagian risiko, diharapkan mengurangi tingkat kegagalan eksplorasi dan meningkatkan kegiatan eksplorasi dan pada akhirnya meningkatkan investasi pada sektor panas bumi.
“Jadi pengembang geothermal tidak lagi perlu takut dari kerugian pada saat eksplorasi,” ungkapnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn