Pemerintah segera membentuk tim privatisasi PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) sebagai kelanjutan putusan perdamaian dengan kreditur atau homologasi yang telah disahkan Pengadilan Niaga Surabaya.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Aloysius K. Ro mengatakan akan membentuk tim privatisasi dalam waktu dekat. Tahapan tersebut merupakan bagian dari proses pelepasan kepemilikan saham pemerintah di Merpati Nusantara Airlines (MNA).
“Kementerian Keuangan serahkan ke kami [Kementerian BUMN]. Privatisasi lah intinya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (23/11/2018).
Aloysius mengatakan pemerintah nantinya dapat melepas 100% kepemilikan di MNA. Namun, keputusan tersebut nantinya berada di tangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Dia menyebut pemerintah juga terus mempelajari putusan homologasi Pengadilan Niaga Surabaya untuk MNA. Hal tersebut termasuk kemampuan dari calon investor.
“Kami belum bicara soal valuasi saham dan strukturnya seperti apa tetapi yang jelas kami mengundang strategis investor untuk MNA seperti amanat dari putusan Pengadilan Niaga Surabaya,” jelasnya.
Seperti diketahui, Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) mengatur bahwa pemerintah dapat melakukan privatisasi setelah DPR memberikan persetujuan atas RAPBN yang didalamnya terdapat target penerimaan negara dari hasil privatisasi. Selanjutnya, Pasal 3 Ayat 2 menyebut rencana privatisasi dituangkan dalam program tahunan privatisasi yang pelaksanaannya dikonsultasikan kepada DPR.
Untuk membahas dan memutusukan kebijakan tentang privatisasi, PP Nomor 33 Tahun 2005 mengatur bahwa pemerintah harus membentuk sebuah komite privatisasi sebagai wadah koordinasi. Tim tersebut dipimpin oleh Menteri Koordinator yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Menteri Teknis tempat perseroan melakukan kegiatan usaha.
Sebagai catatan, MNA memiliki total utang 10,03 triliun kepada tiga kategori kreditur. Pertama, kreditur separatis atau jaminan kebendaan senilai Rp3,33 triliun dengan pemegang tagihan terbesar Kementerian Keuangan senilai Rp2,1 triliun.
Kedua, kreditur konkuren senilai Rp5,62 triliun. Tagihan terbesar untuk kategori tersebut dipegang oleh PT Pertamina (Persero) senilai Rp2,6 triliun.
Terakhir, tagihan dari kreditur preferen atau prioritas tercatat Rp1,08 triliun. Jumlah tersebut menampung tagihan dari bekas karyawan dan kantor pajak.
Sumber Bisnis.com