Jepang memang unik, bisa menggabungkan dua dunia sekaligus: modern dan tradisional. Keduanya bisa sama hebatnya. Negeri Sakura merupakan negara yang banyak melahirkan inovasi industri yang produknya dipakai di seluruh dunia. Jepang adalah salah satu negara tujuan wisata dunia karena para turis tertarik dengan budaya tradisionalnya, yang mereka jaga dan lestarikan secara ketat. Bukan pemandangan aneh jika di jalan-jalan hedon tokyo kita menjumpai wanita berkimono pulang dari kuil atau upacara tertentu.
Ada yang menarik ketika saya berkunjung ke Tsukiji, pasar ikan terbesar di dunia yang menjadi barometer industri perikanan Jepang dan sekaligus destinasi wisata dunia. Saya kaget ketika diajak berkeliling oleh manajer pasar. Pertama kali, dia membawa saya ke tempat pelelangan sea urchin yang sudah dikemas, disitu berkumpul juru lelang dari dua perusahaan dan puluhan pembeli yang sudah terdaftar.
Yang menarik, mereka melakukan lelang secara tradisional alias manual, lengkap dengan kode tangan, pandangan mata, kertas, pulpen dan tentu saja teriakan. Wow, di negara produsen elektronik, yang bahkan toilet saja dibuat fully electronic (dan menjadi sangat complicated) ternyata masih menggunakan cara manual untuk lelangnya, dan itu di Tsukiji, pasar ikan terbesar di dunia!
Ini benar-benar sebuah kejutan, dua kali saya kagetnya ketika mengetahui cara lelang tradisional di Tsukiji. Pertama saya kaget karena ini terjadi di pasar ikan terbesar di dunia, kedua saya kaget karena ini terjadi di Jepang!
Cara lelang tradisional ini membuat saya seperti dejavu mengingat masa kecil tahun 80-an di pantai utara Karawang, saat menyaksikan lelang ikan di TPI Mina Karya Makmur. Ciri khas dari dimulainya lelang adalah bunyi lonceng yang terbuat dari besi bekas pelek ban mobil. Bunyinya khas terdengar hingga radius ratusan meter, menjadi magnet yang menarik para pembeli datang ke TPI. Ketika puluhan calon pembeli sudah terkumpul, juru lelang mulai mengeluarkan senjata saktinya, TOA yang menghasilkan suara khas seperti yang dipakai Band rock Jamrud di lagu Puteri itu.
Proses lelangnya hampir sama. Ikan yang di lelang ditampilkan di depan pembeli, ada yang di keranjang, ada yang di lantai dan kadang ada yang dicuri juga oleh anak-anak kecil. Ini biasanya terjadi kalau banyak sekali ikan yang dilelang dan banyak sekali orang yang berkerumun sampai juru lelang tidak terlihat mukanya. Juru lelang akan menghargai ikan di depannya, semakin meningkat selama masih ada pembeli yang mengacungkan tangan, terus berlangsung sampai tidak ada lagi yang melebihi penawar terakhir. Selesai melelang satu produk dia akan berpindah ke produk lain di dalam TPI sampai semua produk terlelang.
Saya tinggalkan kekakagetan saya sejenak untuk bertanya ke manajer pasar, kenapa masih lelang dengan cara tradisional di jaman now? Jawaban hanya dua; pertama dia bilang ini adalah cara yang sudah berlangsung sejak dulu. Para pedagang dan pembeli sudah terbiasa dengan cara lelang lama, teriakan lelang itu sepertinya sudah menjadi alam bawah sadar mereka, tidak lengkap rasanya hari tanpa teriakan itu. Tsukiji mulai beroperasi dari tahun 1934, sudah 84 tahun, lebih tua dari umur republik kita. Jawaban ini tidak terlalu memuaskan saya, dalam hal budaya saya mengerti kenapa Jepang tetap menjaga tradisionalitas sampai sekarang. Tapi dalam hal bisnis seperti cara lelang, apa masih layak dipertahankan?
Jawaban kedua dari Manajer Tsukiji yang kemudian buat saya paham kenapa cara tradisional dipertahankan sampai sekarang. Dia bilang dengan cara tradisional itu sampai sekarang masih efektif. Setiap hari tidak kurang dari 2.000 ton produk perikanan yang dijual disini, jumlah yang fantastis untuk sebuah pasar, dan produk yang dilelang itu nyatanya bisa disirkulasikan secara cepat. Jam 3 pagi tuna mulai didisplai untuk memberi kesempatan para pembeli melihat dan mengecek kondisi ikan, pukul 5 30 lelang sudah dimulai, pukul 8 pagi semuanya selesai. Cepat dan efisien ternyata.
Cara lelang tuna lebih seru dibandingkan produk olahan dan udang. Disini juru lelang benar-benar heboh, teriakan dan gestur tubuhnya menarik untuk dilihat, plus semangatnya yang luar biasa memberi energi tersendiri bagi para calon pembeli. Waktu saya disitu, ada tuna segar yang beratnya 280 kg! Terbesar yang dilelang saat itu. Disini yang dilelang adalah tuna segar dan tuna beku, jumlah tuna beku lebih banyak.
Jadi, old way memang tidak selalu buruk atau ketinggalan, asalkan dibuat secara cepat dan efisien, masih mampu menjawab tantangan jaman. Bulan November nanti Tsukiji lama yang sudah berumur 84 tahun akan ditutup, mereka akan pindah ke tempat baru, hanya 10 menit dari tempat lama. Saya penasaran bertanya kepada manajernya, apakah di tempat baru yang bangunannya modern akan dilakukan lelang digital, jawabannya tidak, they will stick with the old way, di Tsukiji, televisi layar datar tidak menarik rupanya.
Muara Baru, 4 Juli 2018
Risyanto Suanda
Sumber Situs Web Perum Perindo