Pembengkakan anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang sekarang hampir mencapai Rp700 triliun praktis mengubah outlook defisit dalam APBN 2020.
Jika sebelumnya outlook defisit mencapai 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB) dengan asumsi alokasi PEN mencapai Rp677,2 triliun.
Penambahan anggaran tersebut mejadi Rp695,2 triliun atau naik Rp18 triliun, maka outlook defisit anggaran mencapai Rp1.057,3 triliun atau naik dari sebelumnya Rp1.039,2 triliun. Dengan catatan asumsi pendapatan negara tidak berubah dan penambahan ada di pos belanja.
“Situasi terus bergerak, jadi program ini ada dinamikanya,” kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Selasa (16/6/2020).
Sebelumnya, untuk keempat kalinya pemerintah mengubah alokasi anggaran untuk penanganan ekonomi nasional (PEN) membengkak menjadi Rp695,2 triliun atau naik sekitar Rp18 triliun dari alokasi semula Rp677 triliun.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa peningkatan terbesar terjadi pada alokasi anggaran untuk pembiayaan korporasi yang berubah menjadi Rp53,57 triliun.
Dengan perubahan tersebut pos struktur PEN menjadi sebanyak Rp87,55 triliun untuk kesehatan, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 trilun dan sektoral/pemerintah daerah Rp106,11 triliun.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengidentifikasi risiko dalam pengalokasian anggaran untuk penanganan Corona atau Covid – 19 (termasuk program pemulihan ekonomi nasional)
Dalam paparannya Wakil Ketua BPK Agus Djoko Pramono setidaknya mencatat 9 persoalan dalam penganggaran bantuan penanganan Covid – 19. Pertama, pandemi Covid-19 memiliki skala yang besar, sangat komplek dan berdampak pada aspek penanganan bencana, kesehatan, keselamatan manusia, sosial, ekonomi, dan keuangan.
Kedua, perubahan APBN 2020 untuk penanganan Covid -19 mengabaikan transparansi fiskal. Ketiga, pelebaran batas defisit tanpa batas berpotensi meningkatkan risiko fiskal dan menganggu kedaulatan negara.
Keempat, perluasan kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tanpa penetapan krisis berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan.
“Ini menimbulkan risiko dalam pelaksanaan kebijakan yang harus dimitigasi,” kata Agus dalam seminar di BPK, Selasa (9/6/2020).
Kelima, kompleksitas, kecepatan, dan rentang kendali kegiatan penanganan Covid – 19 dianggap tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dan check and balances menimbulkan risiko dalam pelaksanaan kebijakan.
Keenam, kebijakan keuangan nagara dan stabilitas sistem keuangan memberikan kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah, KSSK, OJK, Bank Indonesia, dan LPS mengabaikan prinsip check and balances, fungsi pemeriksan, dan fungsi pengawasan legislatif.
Ketujuh, skema pertanggungjawaban keuangan negara penanganan Covid – 19 tidak komprehensif. Kedelapan, tidak ada pembatasan jangka waktu dan syarat dimulai dan diakhirinya pemberlakuan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi.
Kesembilan, pemberian imunitas dan ketiadaan sanksi hukum bagi penyelenggara kebijakan tidak memperhatikan prinsip kesamaan di muka hukum (equality before the law) dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan.
Sumber Bisnis, edit koranbumn