Sekadar info, kinerja WIKA menjadi yang paling boncos karena berbalik rugi, tepatnya minus Rp3,21 triliun, ketimbang periode sama tahun lalu yang setidaknya masih menghijau dengan laba bersih Rp741,43 miliar. Bahkan, nilai rugi bersih WIKA itu tercatat telah melampaui BUMN Karya lain yang dalam beberapa waktu belakangan rutin menjadi yang paling boncos, yakni PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT), dengan rugi bersih Rp3,17 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan WIKA notabene menjadi salah satu contoh BUMN Karya yang menerima efek beban berat sejak era percepatan pembangunan infrastruktur di bawah pemerintahan Joko Widodo.
Pasalnya, kala itu BUMN Karya menjadi ujung tombak berbagai proyek strategis nasional (PSN), tidak hanya sebagai kontraktor, tapi juga dengan penyertaan modal untuk memuluskan PSN terkait yang menjadi penugasan.
“Akibatnya, mereka menghadapi tekanan keuangan berat, termasuk WIKA yang kini harus berjuang menata ulang kewajibannya agar tetap bisa beroperasi dan bertahan,” jelasnya dalam keterangan resmi, dikutip Kamis (6/11/2025).
Sebagai contoh, WIKA harus menanggung beban utang besar dari proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh), di mana perusahaan wajib menyetorkan modal hampir Rp12 triliun dengan beban bunga pinjaman tersebut mencapai Rp2 triliun per tahun. Di sisi lain, perusahaan juga dihadapkan pada kewajiban pembayaran bunga obligasi dan sukuk yang jatuh tempo pada Februari 2025.
“Mau tidak mau utang WIKA itu harus disesuaikan. Ini sejalan dengan rencana restrukturisasi utang ke China yang bisa sampai 60 tahun. Jadi restrukturisasi memang menjadi alternatif agar WIKA bisa bertahan,” tambahnya.
Kondisi ini turut diperparah oleh penurunan anggaran infrastruktur pemerintah pada 2025. Hingga September 2025, kontrak baru yang berhasil diperoleh WIKA hanya mencapai Rp6,19 triliun, turun sekitar 60% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp15,58 triliun. Sejalan dengan itu, penjualan pun mengalami penurunan 27,55% dari yang sebelumnya Rp12,54 triliun menjadi Rp9,09 triliun.
Penurunan signifikan pada penjualan turut menggerus likuiditas WIKA. Arus kas operasi perusahaan mengalami defisit Rp1 triliun, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yaitu defisit Rp218,9 miliar.
Oleh karena itu, restrukturisasi menjadi langkah yang tak terhindarkan bagi WIKA untuk kembali sehat. Bahkan, Tauhid menilai restrukturisasi harus turut disertai dengan penyesuaian bunga pinjaman agar WIKA benar-benar mampu membayar kewajiban.
“Ketika restrukturisasi, bunganya harusnya bisa dikurangi. Jangan sampai bebannya makin berat. Kalau bunganya makin besar, justru masalah baru yang muncul,” jelas Tauhid.
Terakhir, selain restrukturisasi, menurutnya WIKA juga perlu mendapatkan dukungan tambahan Pemerintah untuk proyek-proyek baru yang berpotensi menghasilkan keuntungan.
“Kalau untuk proyek kereta cepat saya kira sudah tidak mungkin, tapi untuk proyek baru infrastruktur masih bisa. Itu penting agar WIKA bisa menutup kerugian yang ada,” tutupnya.
Senada, Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai langkah restrukturisasi terhadap WIKA kini sepenuhnya berada di tangan Danantara, lembaga pengelola BUMN hasil transformasi pasca-pembubaran Kementerian BUMN.
Menurut Yayat, langkah penyehatan WIKA bisa dilakukan melalui konsolidasi antarperusahaan konstruksi pelat merah untuk menciptakan efisiensi dan memperkuat modal.
“Kalau dilikuidasi jelas berat. Tapi opsi penggabungan beberapa badan usaha bisa menjadi jalan tengah untuk penyehatan,” ungkap Yayat.
Dengan restrukturisasi yang matang dan dukungan kelembagaan dari Danantara, WIKA diharapkan dapat kembali sehat, memperkuat likuiditas, dan kembali berkontribusi terhadap pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Sumber Bisnis, edit koranbumn
















