PT Pertamina Power Indonesia berambisi untuk mencapai target portofolio listrik dan energi baru terbarukan (EBT) setara 40 gigawatt (GW) pada 2026.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis Pertamina Power Indonesia Ernie D Ginting mengatakan bahwa target tersebut dikontribusikan dari pembangkit berbasis energi bersih dan manufaktur baterai dan solar PV.
“Pada 2026, kami akan mencapai atau membangun equal 40 GW portofolio dari power dan NRE. Ini terdiri atas 10 GW clean energy power plant, yakni gas dan pembangkit EBT, 30 GW baterry cell manufactur,” ujar Ernie dalam webinar Pertamina Energy Webinar 2020 – Energizing The Energy Transition, Selasa (8/12/2020).
Untuk mewujudkan rencana penambahan kapasitas tersebut perseroan menyiapkan investasi sekitar US$15 miliar hingga 2026.
Ernie menuturkan, dengan penambahan portofolio listrik dan EBT 40 GW diharapkan dapat meningkatkan pendapatan perseroan sebesar US$8 miliar.
Disadari, pengembangan EBT di Indonesia masih menemui sejumlah tantangan. Ada tiga tantangan yang disoroti Pertamina Power Indonesia, yakni terkait dengan isu komersialisasi, ketersediaan lahan, dan pendanaan.
Terkait dengan isu komersialisasi, Ernie menilai regulasi yang berlaku saat ini membuat harga beli listrik dari pembangkit EBT belum mampu bersaing dengan harga listrik dari pembangkit batu bara.
“Saat ini, BPP di-set up PLN dan secara umum BPP dihubungkan dengan harga batu bara sehingg memang cukup menantang EBT bisa bersaing. Contoh, di Jawa-Bali BPP US$6,8 sen per kWh, untuk EBT seperti panas bumi jual di bawah itu tentu saja tidak feasible secara ekonomi,” katanya.
Faktor kompetitif tarif seringkali membuat proses negosiasi power purchase agreement (PPA) dengan PLN menjadi panjang dan menimbulkan sejumlah isu. “Contoh, beberapa proyek geothermal kami saat ini belum bisa on stream karena belum disepakati PPA-nya,” katanya.
Tantangan lainnya adalah terkait ketersediaan lahan. Ernie mencontohkan bahwa untuk membangun pembangkit tenaga surya sebesar 1 MW dibutuhkan setidaknya lahan seluas 1 hektar.
Kemudian, sulitnya pendanaan murah untuk proyek EBT juga menjadi tantangan tersendiri. “Kita tahu return EBT lebih rendah dari minyak dan gas sehingga bagaimana menemukan pendanaan murah jadi challenge utama,” imbuh Ernie.
Sumber Bisnis, edit koranbumn