PT Bukit Asam Tbk (PTBA) semakin serius masuk ke sektor Energi Baru Terbarukan (EBT), tercermin dari berlanjutnya usaha penjajakan ke sejumlah proyek energi terbarukan. Namun di sisi lain, Bukit Asam masih temui sejumlah kendala sehingga pengembangan energi terbarukan belum bisa dijalankan dengan maksimal.
Direktur Utama Bukit Asam, Suryo Eko Hadianto mengatakan selama ini PTBA sudah menjalankan sejumlah proyek pengembangan EBT sebelum ada isu besar yang menghantam industri pertambangan batubara.
“Awalnya bisnis kami berorientasi pada ekspansi angkutan batubara, pembangkit listrik, dan hilirisasi batubara. Tetapi berangkat dari adanya Paris Agreement, maka kami menambah dua pilar bisnis yakni masuk ke Energi Baru Terbarukan (EBT) dan sekaligus menjajaki manajemen karbon,” jelasnya dalam acara Investor Daily Summit, Rabu (14/7).
Sudah ada sejumlah jejak yang ditorehkan Bukit Asam dalam berkontribusi di sektor EBT, salah satunya bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II membangun PLTS berkapasitas 241 KWP dengan nilai investasi sebesar US$ 194.400.
Suryo tidak menampik bahwa investasi yang dikeluarkan masih kecil, tetapi ini dilakukan sebagai langkah awal yang sudah berjalan dengan baik. “Ini menambah keyakinan kami untuk masuk ke bisnis EBT,” kata Suryo.
Selain dengan AP II, PTBA juga sudah memiliki beberapa pilot project di beberapa daerah menggunakan dana CSR. Adapun saat ini PTBA juga sedang menjajaki beberapa peluang untuk pengembangan EBT yang rencana investasinya sudah masuk dalam anggaran.
Suryo memaparkan beberapa peluang tersebut, antara lain proyek PLTS Terapung Dam Sigura-gura INALUM dengan kapasitas 2×500 kWp. Kemudian pengembangan PLTS di bandara lainnya untuk mengusung green airport concept. Lainnya, penjajakan pengembangan PLTS di Jasa Marga Bali Mandara dan PLTS di Pelindo II-IPC (Jalan tol Cibitung – Cilincing).
Kendati sudah semakin serius menggarap bisnis EBT, Suryo mengatakan masih ada sejumlah hambatan yang ada di Indonesia mengenai pengembangan energi baru terbarukan.
Hambatan tersebut salah satunya, kelayakan tarif PLTS yang cukup tinggi. Sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No 4 tahun 2020 pasal 5 yang berisi maksimal Biaya Pokok Penyediaan Pembangkitan (BPP) adalah 85% di atas BPP sistem pembangkit setempat.
Aturan BPP PLTS tersebut dirasa belum kompetitif terutama bila dibandingkan dengan BPP PLTU saat ini. Sebagai contoh di Sumatera Selatan, BPP pembangkitnya di bawah rata-rata nasional maka tidak bisa menerapkan ketentuan tersebut.
Kemudian, kurangnya ketersediaan atau kemampuan jaringan T/L Grid PLN untuk menyerap hasil produksi PLTS terutama yang berkapasitas di atas 20 MWp, terutama di Sumatera. Sedangkan PTBA mempunyai potensi lahan pasca tambang yang besar dan dapat dikembangkan untuk mendukung program pemerintah.
Suryo punya cara pandangnya sendiri untuk menyikapi Paris Agreement. Menurutnya perihal penghentian ekploitasi batubara harus dievaluasi ulang. “Bagaimanapun juga energi batubara saat ini merupakan energi termurah untuk PLTU sementara Indonesia masih memiliki kekayaan batubara yang cukup besar,” katanya.
Dia mengilustrasikan cara menyikapi Paris Agreement ini dengan fenomena nasi padang. Fenomena ini menceritakan tentang seorang petani yang memiliki stok padi yang cukup untuk 3 bulan, jika tidak diolah padi tersebut akan rusak dan tidak bisa dimakan.
Untuk mengolah padi tersebut dibutuhkan biaya Rp 15.000 untuk satu kilogramnya, sementara membeli nasi padang dekat rumah yang notabene lebih enak dan bersih cukup dengan Rp 12.500 saja. Para pedagang nasi padang selalu kampanye bahwa nasi padang lebih jauh efisien dan irit.
“Namun apa yang terjadi? Kekayaan bapak petani ini yang tadinya punya padi di gudang untuk 3 bulan ke depan jadi hangus karena tidak termanfaatkan hanya karena ingin dapat nasi padang saat itu juga yang lebih murah, tetapi kekayaan hilang,” ujarnya.
Menurutnya ilustrasi tersebut sama dengan fenomena batubara di Indonesia. Di satu sisi membutuhkan energi murah untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tetapi di sisi lain punya komitmen untuk Paris Agreement.
Maka dari itu, PTBA menyodorkan konsep manajemen karbon. Jelasnya, target reduksi karbon harus diperhitungkan oleh semua instansi dan semua perusahaan. Tidak hanya sekadar menerapkan pajak karbon tetapi di internal Indonesia harus ada mekanisme transaksi kredit karbon.
Apabila perusahaan sudah membeli kredit karbon maka pajak bisa direduksi. Di sisi lain, pajak karbon bisa tinggi jika perusahaan tidak melakukan transaksi atau tidak berupaya mengurangi reduksi emisi karbon.
Menurut Suryo, jika sistemnya bisa dibuat demikian, Indonesia tidak perlu menginduk ke belahan dunia lain. “Jika sudah menerapkan kredit karbon, saya yakin penurunan emisi karbon bisa diatur dengan baik dan semua lapisan perusahaan yang notabene memproduksi karbon akan tergerak sendiri untuk menurunkan emisi karbonnya,” tandasnya.
Sumber Kontan, edit koranbumn