– Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan terdapat 3 faktor penyebab proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung mundur dari target awal operasi hingga mengalami pembengkakan biaya.
Tiko, sapaannya, menyebut pemerintah sebenarnya sudah lama mengakui adanya ketidaktepatan asumsi sampai dengan miskalkulasi terkait dengan proyek Kereta Cepat. Sehingga, dia menegaskan saat ini baik Indonesia dan China fokus untuk menyelesaikan proyek sesuai target yakni Juni 2023.
“Katakanlah ini ada miscalculation, tapi kalau [pemerintah] tidak ngapa-ngapain kan jadi mangkrak. Memang harus diselesaikan [proyeknya],” ujar Tiko beberapa waktu lalu.
Menurut Tiko, terdapat beberapa asumsi awal mengenai proyek Kereta Cepat yang akhirnya tidak tepat perhitungan.
Pertama, asumsi traffic. Tiko menyebut asumsi awal mengenai traffic Kereta Cepat terlalu agresif.
Kedua, asumsi biaya atau cost awal yang ditetapkan terlalu rendah dengan kondisi di lapangan. Seperti diketahui, kondisi geologis menambah tantangan konstruksi prasarana atau jalur Kereta Cepat sehingga ikut menambah beban biaya proyek.
Khususnya, paket proyek terowongan sepanjang 1.050 meter yang dibangun di tanah lempung sehingga mengurangi data dukung tanah hingga 80 persen.
“Jadi asumsi traffic terlalu tinggi, cost terlalu rendah. Dua sisi, mesti mau gak mau ada tambahan [biaya], kalau tidak jadinya mangkrak,” ujar Tiko.
Ketiga, asumsi pembangunan kawasan berorientasi transit dengan konsep transit oriented development (TOD) yang akan diintegrasikan dengan stasiun Kereta Cepat.
Menurut Tiko, dengan asumsi traffic Kereta Cepat saat beroperasi nanti masih belum tinggi, maka pembangunan kawasan TOD masih akan menunggu hingga lima tahun setelah commercial operation date (COD).
“Setelah traffic naik, baru kita bangun TOD,” ujar Tiko.
Selain pembangunan kawasan TOD, integrasi antara Kereta Cepat dengan moda transportasi lain, salah satunya LRT Jabodebek, turut menjadi tantangan. Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi pun sebelumnya sempat menyampaikan bahwa rencana integrasi antarmoda turut menyumbang pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat.
“Karena di LRT juga tidak ada dana, kemudian pemerintah meminta KCIC untuk membangun. Itu muncul cost overrun,” tutur Dwiyana, April 2022 lalu.
Selain itu, penambahan biaya investasi untuk jaringan telekomunikasi khusus, pengadaan lahan, hingga pandemi Covid-19 disebut ikut menyebabkan pembengkakan biaya dan mundurnya target operasi Kereta Cepat.
Adapun, PT Kereta Api Indonesia (Persero) mencatat bahwa estimasi cost overrun proyek mencapai US$1,1 miliar sampai dengan US$1,9 miliar. Pada awal 2022, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah selesai melakukan audit cost overrun proyek sebesar US$1,176 miliar atau sekitar Rp16,8 triliun.
Sumber Bisnis, edit koranbumn