PT Aneka Tambang Tbk. atau Antam (ANTM) tengah menjajaki kerja sama dengan salah satu produsen prekursor terbesar di dunia dalam pembentukan perusahaan patungan atau joint venture (JV) untuk pengembangan proyek baterai kendaraan listrik.
Mengutip dari situs POM.go.id, prekursor merupakan bahan kimia yang secara luas digunakan oleh berbagai industri baik skala besar maupun usaha skala kecil untuk berbagai keperluan seperti industri farmasi, kosmetika, makanan, tekstil, cat, termasuk pula proses vulkanisir ban.
Direktur Utama Antam Nico Kanter mengatakan saat ini manajemen tengah dalam proses penjajakan mengenai kerja sama tersebut. Antam juga tengah berupaya segera merampungkan juga berupaya merampungkan JV yang melibatkan Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co (CBL) dan juga LG Energy Solution (LGES).
“Jadi kita sedang menjajaki suatu mitra kerja sama dengan produsen prekusor terbesar yang memang masih dalam proses karena penajajakan akan kami rampungkan JV nya,” ujar Nico dalam acara Investor Daily Summit 2022 pada Selasa (11/10/2022).
Meski demikian, Nico enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai penjajakan tersebut. Namun, ia memastikan bahwa diskusi masih terus berjalan.
“Diskusi ada berjalan terus,” ujar Nico saat ditemui disela-sela wawancara.
Sebelumnya, Antam bersama PT Industri Baterai Indonesia (Indonesia Battery Corporation/IBC), dan CBL juga telah melakukan penandatanganan framework agreement. Selain itu, Antam dan IBC juga sudah meneken framework agreement tersendiri dengan LGES.
Adapun, penandatanganan kerangka kerja sama antara Indonesia Battery Corporation atau PT IBC sebagai strategic investment holding dengan dua perusahaan asing itu sudah dilakukan pada 14 April 2022.
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PT Industri Baterai Indonesia atau Indonesia Battery Corporation (IBC) Toto Nugroho menyampaikan total investasi proyek baterai kendaraan listrik secara end-to-end diperkirakan mencapai US$15,3 miliar. Pembangunan pabrik baterai cell menjadi bagian dari rantai nilai ekosistem baterai yang membutuhkan biaya investasi paling besar.
Untuk membangun pabrik baterai cell dengan kapasitas 140 gigawatt hour (GWh) per tahun, biaya capital expenditure (capex) yang dibutuhkan diperkirakan mencapai US$6,73 miliar. Selain baterai cell, pembangunan pabrik katoda juga membutuhkan biaya yang cukup tinggi, yakni sekitar US$3,83 miliar.
Adapun, untuk membangun smelter untuk mengolah bijih nikel menjadi nikel sulfat dengan teknologi RKEF dan HPAL membutuhkan capex sekitar US$2,6-US$2,7 miliar. Sisanya, kebutuhan investasi diperlukan untuk proyek tambang nikel senilai US$160 juta, pabrik daur ulang baterai US$30 juta, dan pengembangan energy storage system (ESS) senilai US$40 juta.
Sumber Bisnis, edit koranbumn