DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau yang lebih dikenal dengan RKUHP menjadi Undang-undang dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun 2022-2023, pada Selasa (6/12/2022).
“Kami akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah Rancangan Undang-undang tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dapat disetujui dan disahkan menjadi Undang-undang?” ujar Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad diikuti persetujuan anggota parlemen dan ketukan palu, Selasa (6/12/2022).
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul menjelaskan, RKUHP membawa misi dekolonialisasi, demokratisasi, harmonisasi, dan konsolidasi tentang hukum pidana.
Pacul mengatakan, KUHP yang dipakai selama ini merupakan warisan kolonial Belanda. KUHP itu, lanjutnya, telah berperan sebagai sumber pertama hukum pidana di Indonesia selama 76 tahun. Menurutnya, KUHP sudah tak relevan lagi sehingga perlu diubah.
“Oleh sebab itu, diperlukan adanya pembaharuan untuk mengakomodasi perkembangan hukum pidana sekaligus penciptaan pembangunan hukum nasional,” jelas Pacul pada kesempatan yang sama.
Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menekankan pentingnya pengesahan RKUHP saat ini. Dia menjelaskan, rencana revisi KUHP sudah dimulai sejak 63 tahun lalu atau pada 1959.
Memang, saat ini Indonesia masih memakai KUHP peninggalan pemerintahan Hindia-Belanda. Oleh sebab itu, Yasonna mengklaim draf final RKUHP merupakan hasil reformasi yang sangat memuaskan dari KUHP yang dipakai saat ini.
Dia menegaskan, sudah banyak pakar yang bekerja keras untuk menyelesaikan RKUHP. Mereka semua ingin Indonesia punya KUHP buatan sendiri.
“Malu kita sebagai bangsa memakai hukum Belanda. Tidak ada pride sebagai anak bangsa. Guru-guru saya, guru yang saya hormati, banyak bekerja keras seperti Prof Mulyadi misalnya, sangat mendambakan UU ini disahkan,” ucapnya, Senin (5/12/2022).
Masih Ada Penolakan
Sementara itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat masih ada selusin masalah dalam draf final RKUHP. Salah satunya terkait hukum yang hidup dalam masyarakat yang diatur dalam pasal 2.
“Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri,” ujar rilis Aliansi, Senin (5/12/2022).
Oleh karenanya, mereka melakukan aksi unjuk rasa dengan menabur bunga di depan Gedung DPR pada Senin (5/12/2022). Merasa aksi mereka tak digubris, Aliansi kembali akan mengadakan unjuk rasa di Gedung DPR pada hari ini, Selasa (6/12/2022) pukul 13.00 WIB.
Aksi-aksi tersebut sebagai bentuk penolakan mereka kepada pengesahan RKUHP. Bahkan, mereka menamakan aksi pada hari ini dengan Berkemah di Depan Rumah Wakil Rakyat karena Demokrasi Darurat.
Menanggapi masaih ada penolakan, Yasonna Laoly menyarankan lebih baik kelompok masyarakat yang belum puas dengan RKUHP menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Perbedaan pendapat sah-sah saja ya. Kalau pada akhirnya nanti [disahkan], saya mohon gugat saja di MK, lebih elegan caranya,” ujar Yasonna kepada awak media di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/12/2022).
Dia mengakui bahwa sangat sulit memuaskan seluruh masyarakat. Meski begitu, menurutnya, Kemenkumham dan lembaga pemerintahan lainnya sudah berkali-kali ke daerah-daerah untuk mensosialisasikan RKUHP. Pemerintah, lanjutnya, juga kerap menerima masukan dari masyarakat.
“Kita tampung semua kok masukan dan ada perbaikan masyarakat. Ada yang kita softing down, lembutkan,” klaim politisi PDI Perjuangan tersebut.
Sumber Bisnis, edit koranbumn