Setelah Turki, Brazil, Argentina, kini Afrika Selatan mengalami resesi. Sementara fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Namun, mata uang Rupiah belum mampu terlepas dari risiko pelemahan mata uang secara global. Hingga Selasa (3/9) sore, kurs referensi Jakarta Interspot Dollar Rate (JISDOR) mencatat, Rupiah melemah terhadap US Dollar level 14.840. Penguatan Dollar AS terhadap mayoritas mata uang negara berkembang dan kecemasan investor terhadap krisis ekonomi di beberapa negara berkembang masih menjadi pemicu pelemahan Rupiah.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyatakan, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sebenarnya masih kuat, tapi tak mampu tahan dari serbuan ‘new normal’. Sebagai info, kondisi new normal terjadi ketika ekonomi AS membaik sehingga suku bunganya naik, indeks Dollar AS menguat, sehingga arus modal asing keluar dari negara berkembang kembali ke Amerika.
“Kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih kuat ketimbang Brazil, Turki, dan Argentina,” ungkap Budi Hikmat dalam keterangan pers, Rabu (5/9). Sebagai perbandingan, Brazil telah kehilangan status level investasi sejak 2015. Hal ini disebabkan karena utang valas negeri Tango ini membengkak hingga 9 kali lipat sejak 2008 hingga 2015.Di samping itu, harga minyak dunia turun di tahun 2015, menyebabkan negara penghasil minyak tersebut terpuruk dan mengalami stagflasi atau penurunan pertumbuhan ekonomi.
“Negara yang memiliki utang valas yang besar memang memiliki risiko pelemahan mata uang, apalagi jika Dollar AS menguat,” sebutnya. Begitu pun yang terjadi pada Indonesia. Namun, Budi melanjutkan, masalah Indonesia tak terletak pada besarnya jumlah utang, tapi lebih pada biaya utang. “Biaya utang Indonesia relatif lebih tinggi ketimbang Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hal ini karena negara-negara tersebut memilliki sektor manufaktur yang lebih kuat sehingga tahan pada goncangan pasar. Solusi kita ada pada produktif dan kompetitif,” jelasnya.
Pemerintah Harus Segera Dorong Kebijakan Lanjutan
Sepanjang tahun 2018, pemerintah telah mengambil beberapa langkah kebijakan baik di moneter dan fiskal untuk membentengi Rupiah dari serbuan ‘new normal’.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valas dan pasar SBN sebesar Rp 7,1 triliun. BI juga menaikkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate sebanyak 125 basis poin (bps) menjadi 5,5%. Di kebijakan fiskal, pemerintah telah mengerem proyek infrastruktur yang memiliki komponen impor yang tinggi. Tak hanya itu, Pemerintah menetapkan defisit anggaran ditekan hingga 1,84% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019.
“Pemerintah sudah melakukan berbagai antisipasi dari segi kebijakan moneter dan fiskal. Namun, hal ini tak cukup menahan Rupiah. Jika BI kembali menaikkan suku bunga 7 Days RRR justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia,” papar Budi. Pasalnya, inflasi Indonesia dari Januari hingga Agustus 2018 hanya sebesar 2,13%. Sementara, Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) sebesar 5.2% tahun ini.
Adapun, ia berharap agar Pemerintah segera mendorong kebijakan-kebijakan pendukung untuk bisa menghasilkan Dollar US dan menyelamatkan Rupiah. Kebijakan tersebut di antaranya di sektor manufaktur, wisata, energi, transportasi, dan BBM. “Kebijakan pendukung harus segera dilaksanakan. Mesin penggerak Dollar harus segera bekerja. ,” tandasnya.
Ia mencontohkan, kebijakan sistem transportasi Ganjil Genap di Jakarta berhasil mengurangi penggunaan kendaraan roda empat di ibukota, sehingga arus lalu lintas lebih terkendali. Sekadar info, jumlah tambahan mobil dan motor di Indonesia telah mencapai 78 juta unit selama 10 tahun, atau melonjak 88% dibanding satu dekade lalu. Hal ini setara dengan jumlah penduduk Turki dan Jerman. “Ini merupakan kekeliruan dan berdampak pada jumlah energi yang diimpor lebih besar,” sebutnya.
Sumber Situs Web BAHANA