Krisis kesehatan akibat penyebaran COVID-19 menciptakan ancaman baru bagi bisnis badan usaha milik negara (BUMN) di Indonesia, khususnya yang telah terbelit utang selama bertahun-tahun.
Seperti dikutip melalui Bloomberg, Kamis (9/4/2020), banyak BUMN yang terbelit utang selama bertahun-tahun, menghadapi tuduhan kesalahan pengelolaan dan korupsi, dan mengalami masalah pembayaran sebelum COVID-19 menyerang. Penurunan pendapatan, risiko krisis kredit yang dipicu oleh menguatnya dolar Amerika Serikat membuat risiko-risiko itu semakin buruk.
“COVID-19 memperburuk tantangan yang harus dihadapi beberapa sektor perusahaan milik negara,” ujar Analis S&P Global Ratings Xavier Jean dikutip melalui Bloomberg, Kamis (9/4/2020).
Jean menuliskan, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi oleh perusahaan milik negara seperti penurunan tajam volume lalu lintas, menurunnya prospek pertumbuhan konsumsi listrik saat kapasitas bertambah, serta tantangan perdagangan yang lebih sulit.
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyebut sektor BUMN Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Perseroan pelat merah dan ratusan anak usahanya mempekerjakan jutaan orang Indonesia dan memiliki peran penting dalam membangun pelabuhan, kereta api, serta ribuan kilometer jalan baru sebagai bagian dari rencana infrastruktur senilai US$415 miliar Presiden Joko Widodo.
Sejalan dengan tugas itu, total utang yang dimiliki oleh BUMN mencapai Rp1.600 triliun atau setara US$98 miliar pada kuartal III/2020 menurut data Kementerian BUMN. Jumlah itu mengalami kenaikan 15 persen dari tahun sebelumnya.
Default Utang
Bloomberg menuliskan beberapa BUMN telah mengalami masalah utang bahkan sebelum virus COVID-19 melanda. Sebagai contoh, pembuat baja terbesar di Indonesia, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. yang baru saja merestrukturisasi utang senilai US$2 miliar.
Selanjutnya, dua perusahaan asuransi negara, PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asabri (Persero) mengalami default. Permasalahan Jiwasraya terungkap sepenuhnya pada Maret 2020 dengan catatan kerugian negara Rp16 triliun.
Bloomberg juga menyoroti dua BUMN yang menjadi motor pembangunan infrastruktur Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Utang yang dimiliki oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. telah mengalami lonjakan hingga periode September 2019.
Selain itu, BUMN juga memiliki sejumlah utang luar negeri. Hal itu disebut meningkatkan biaya pendanaan saat dolar AS menguat.
Risiko dari menguatnya dolar AS tercermin di pasar keuangan. Harga surat utang yang dimiliki oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. ambles di tengah kondisi pembatasan perjalanan.
Managing Director Penida Capital Advisors Ltd Edward Gustely mengatakan pemerintah harus memilah BUMN dengan kinerja buruk atau bersifat tidak strategis dan tidak menguntungkan sementara yang lain harus menjadi kandidat untuk privatisasi.
“Menteri BUMN Erick Thohir sedang mencoba untuk memperbaiki industri dan tentu saja memiliki keterampilan kepemimpinan dan kapasitas yang diperlukan untuk melakukannya,” kata Gustely.
Gustely menyebut Erick akan membutuhkan bantuan dari luar untuk merestrukturisasi utang BUMN. Selain itu, diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang profesional yang mampu menghasilkan kinerja baik dan dapat dilindungi dari campur tangan politik.
Sumber Bisnis, edit koranbumn