Rencana penunjukan bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) sebagai bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas (bank jangkar) dinilai akan membebani bank-bank BUMN di tengah adanya kebijakan restrukturisasi kredit perbankan. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai kebijakan itu akan memengaruhi saham bank-bank BUMN. Hal ini dikhawatirkan para pemegang saham minoritas memiliki pandangan negatif soal kebijakan tersebut.
“Harus hati-hati juga karena bank Himbara sudah go public, jadi ada pemegang saham minoritas. Nah itu bahaya juga. Mereka pasti berpikir, bank harus mencari profit tapi malah menangani yang lain. Mereka pasti juga berpikir nanganin restrukturisasi saja sudah banyak sekali dan repot,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (13/5).
Di sisi lain, lanjut Aviliani, ditunjuknya bank Himbara sebagai bank penyangga likuiditas akan menimbulkan konflik kepentingan antara bank penyangga likuiditas dengan penerima likuiditas. Sebagai bank penyangga likuiditas, bank Himbara harus bisa menilai dan membantu likuiditas bank-bank yang sedang kesulitan.
Padahal, dalam hal ini, OJK memiliki wewenang untuk melakukan penilaian apakah bank tersebut layak atau tidak untuk mendapatkan pinjaman likuiditas. “Ada beberapa yang perlu dipertimbangkan kalau Himbara yang menjadi penyangga likuiditas. Pertama pasti ada conflict of interest, karena Himbara akan menilai bank lain yang menjadi penerima likuiditas,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia meminta agar KSSK bisa mengkaji ulang terkait rencana bank Himbara yang akan dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas. Aviliani menyarankan, baiknya lembaga keuangan lain di luar bank Himbara yang dijadikan sebagai lembaga penyangga likuiditas seperti PT Perusahaan Pengelola Aset (PTPPA), sebuah perusahaan BUMN yang mengelola aset-aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), baik aset kredit, saham maupun properti.
“PPA ini semacam Venture Capital kan, menempatkan dulu dana kemudian nanti ditarik lagi. PPA juga di bawah pemerintah kan,” katanya.
Sementara Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah juga tidak sependapat jika Bank Himbara dijadikan sebagai bank penyangga likuiditas bagi bank-bank yang kesulitan likuiditas. Piter menekankan urusan likuiditas seharusnya tidak melibatkan bank Himbara, melainkan ini menjadi wewenang bank sentral yang tugasnya mengatur likuiditas di pasar.
“Jika bank mengalami kesulitan likuiditas maka langkah terakhir yakni bank sentral harus menggelontorkan likuiditasnya untuk perbankan. Kenapa urusan likuiditas ini melibatkan bank Himbara, seharusnya urusan likuiditas itu urusannya bank sentral,” katanya.
Sumber Republika, edit koranbumn