PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sukses memangkas biaya proyek pembangunan pipa minyak di koridor Minas-Duri-Dumai dan Balam-Bangko-Dumai, Wilayah Kerja Rokan.
“Alhamdulillah kami berhasil memangkas biaya proyek yang semula mencapai US$ 450 juta menjadi US$ 300 juta. Ada penghematan biaya sekitar US$ 150 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun di proyek ini,” kata Arcandra Tahar Komisaris Utama PGN dalam siaran persnya, Minggu (5/7).
Blok Rokan dengan 6.220 kilometer memiliki 96 lapangan. Tiga lapangan berpotensi menghasilkan minyak sangat baik, yaitu Duri, Minas dan Bekasap. Mulai tahun 2021 nanti pengelolaan blok Rokan akan beralih dari Chevron kepada Pertamina. Hal ini menyusul selesainya masa kontrak kerja Chevron di blok tersebut yang telah berlangsung selama 50 tahun.
Peralihan pengelolaan Blok Rokan, salah satu sumber minyak terbesar di Indonesia saat ini, juga diputuskan ketika Arcandra Tahar masih menjabat Wamen ESDM. Bahkan sesuai kebijakan saat itu, Pertamina yang ditunjuk sebagai pengelola baru Blok Rokan mulai 2021, harus menyiapkan dana komitmen kerja pasti untuk pengembangan blok tersebut senilai US$ 500 juta.
Pertamina juga wajib membayarkan Bonus Tanda Tangan yang masuk ke kas negara senilai US$ 784 juta. Skema fiskal blok Rokan beralih menjadi Gross Split, sehingga tidak membebani biaya APBN seperti halnya sistem Cost Recovery yang berlaku sebelumnya.
Lebih lanjut Arcandra menambahkan, pemahaman teknologi dan komersial menjadi sangat penting di sektor pengelolaan sumber daya alam (SDA). Itu sebabnya, pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia perlu di dorong untuk dapat menguasai dua aspek tersebut.
“Dalam situasi Pandemi COVID-19 dan ekonomi yang menurun dewasa ini efisensi menjadi hal yang paling urgent dilakukan. Tapi jangan sampai efisiensi itu menghambat proyek yang sudah direncanakan, apalagi yang sifatnya strategis dan penting,” tambahnya.
Ia kemudian mencontohkan proyek migas di lapangan Jambaran Tiung Biru, Bojonegoro, Jawa Timur saat masih menjadi Wamen ESDM. Ia bercerita, saat itu PLN sebagai calon pembeli gas keberatan dan tidak memungkinan jika harga gas sebesar US$ 9,7 per MMBTU.
Setelah dilakukan kajian terhadap pembiayaan proyek tersebut, akhirnya kedua kontraktor yaitu Pertamina dan Exxonmobil, menyetujui untuk memangkas biasa investasi di blok Hambatan Tiung Biru tersebut.
Dari semula biaya investasinya US$ 2,050 miliar menjadi US$ 1,550 miliar. Terjadi penghematan uang negara, karena masih menggunakan sistem fiskal cost recovery, sekitar US$ 500 juta atau sekitar Rp 7 triliun (kurs Rp 14.000 per dolar).
Dengan biaya investasi yang berkurang, target produksi gas dari lapangan Tiung Biru tidak berubah dari rencana awal, bahkan produksinya bisa ditingkatkan dari 172 BBTUD menjadi 192 BBTUD. Sehingga harga jual gas ke PLN juga bisa turun menjadi US$ 7,6 per MMBTU tanpa eskalasi. Sebelumnya, harganya bisa mencapai rata rata US$ 9.7 per MMBTU.
“Dengan memahami aspek teknologi dan sisi komersial dari sebuah proyek migas, kita bisa melakukan banyak efisiensi. Dan yang penting proyek tersebut bisa tetap berjalan, bahkan proyek Tiung Biru saya dengar akan segera berproduksi,” jelas Arcandra.
Sumber Kontan, edit koranbumn