Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai, tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan perpajakan Indonesia akan berat dalam jangka menengah. Hal ini tergambarkan dari rasio pajak yang diproyeksikan masih berada pada level single digit hingga 2024.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan, tantangan tersebut sudah terlihat sejak tahun ini, Dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbaru, target rasio pajak dipangkas menjadi 8,57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari semula 10,57 persen hingga 11,18 persen. Penurunannya semakin tajam jika dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar 12,2 persen terhadap PDB.
Febrio mengatakan, penurunan itu kemungkinan bisa berlanjut sampai ke tahun depan, bahkan hingga 2024. “Kami telah melihat bagaimana tantangan yang mungkin dihadapi 2021 dan mungkin berlanjut ke 2022. Di jangka menengah, kita hadapi tantangan besar,” ucapnya dalam Webinar Tax Challenges and Reforms to Finance the Covid-19 Recovery and Beyond, Kamis (1/10).
Dalam paparan yang disampaikan Febrio, terlihat rasio pajak pada 2021 hingga 2024 diperkirakan tidak akan mencapai sembilan persen terhadap PDB. Level terendah terjadi pada 2022 dengan target rasio pajak 7,75-7,97 persen dari PDB, lebih rendah dibandingkan target tahun depan, yaitu 8,18 persen.
Febrio menyebutkan, tekanan terhadap rasio pajak tidak terlepas dari stimulus yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha. Banyak insentif perpajakan untuk memudahkan usaha kecil maupun korporasi dalam menghadapi tekanan di tengah pandemi Covid-19.
Faktor lain yang menciptakan tekanan terhadap rasio pajak adalah harga komoditas. Febrio menjelaskan, apabila harga komoditas rendah, maka rasio pajak belum bisa meningkat. “Sudah bertahun-tahun harga komoditas belum pulih, meskipun ada beberapa yang mulai pulih seperti CPO yang naik, tapi baru beberapa bulan terakhir,” ujarnya, dalam konferensi pers yang diadakan di sela Webinar.
Reformasi basis pajak menjadi kunci kebijakan yang akan dilakukan pemerintah. Febrio menyebutkan, prosesnya diimplementasikan secara bertahap sejak tahun ini secara hati-hati agar tidak menambah beban signifikan ke sektor usaha.
Pemerintah juga berupaya meningkatkan partisipasi sektor-sektor yang selama ini memiliki kontribusi kecil ke penerimaan perpajakan. Di antaranya pertanian dan konstruksi.
Pemerintah bahkan mempertimbangkan menurunkan ambang batas (threshold) dari status Pengusaha Kena Pajak untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013, tentang Pajak atas Penghasilan dari Usaha, batasan omzet pengusaha kecil yang wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebesar Rp 4,8 miliar per tahun.
Febrio mengatakan, setoran pajak dari UMKM memang tidak terlalu tinggi. Tapi, potensinya yang besar patut dipertimbangkan untuk menjadi sumber tambahan penerimaan negara. “Kita melihat, apakah bisa lebih banyak yang bayar pajak,” katanya.
Sumber Republika, edit koranbumn