Bank Dunia menilai penugasan proyek infrastruktur kepada Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) justru membuat perusahaan pelat merah gelagapan mencari dana. Sebab, penugasan diberikan tanpa ada kepastian mengenai sumber pendanaan.
Pernyataan itu termuat dalam laporan Bank Dunia berjudul Infrastructure Sector Assesment Program yang dirilis Juni 2018 silam. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mencontohkan proyek tol Trans-Sumatera yang dikerjakan oleh PT Hutama Karya (Persero) Tbk, saat penugasan diberikan tanpa ada kejelasan mengenai sumber pendanaan.
Akhirnya, Hutama Karya menerbitkan obligasi korporasi dengan jaminan pemerintah demi mendanai proyek tersebut. Menurut laporan tersebut, HK mengerjakan 24 ruas tol Trans Sumatera dengan panjang mencapai 2.700 kilometer (km).
Meski demikian, dana yang dimiliki HK masih tidak cukup untuk merampungkan proyek tersebut, sehingga proyek berpotensi terpapar risiko tinggi secara keuangan.
“Ini menciptakan risiko tambahan bagi BUMN. Jika risiko tak bisa dikelola dengan baik, maka hal ini menciptakan beban tambahan BUMN,” jelas laporan tersebut dikutip Jumat (4/1).
Kondisi ini, menurut laporan Bank Dunia, kerap diabaikan oleh BUMN karena mereka menganggap pemerintah pasti akan mendukung BUMN yang memperoleh penugasan. Padahal, dana yang dimiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tentu tidak cukup untuk terus menyuntikkan modal kepada BUMN.
Di sisi lain, pendanaan internal BUMN juga tak mumpuni. Laba BUMN bahkan sempat terus terjungkal dan tak sesuai dengan pertumbuhan asetnya.
Bank Dunia mencatat, laba BUMN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun dari 22 persen pada 2013 menjadi 15 persen pada 2016. Sementara itu di periode yang sama, aset BUMN naik 185,48 persen dari Rp2.266 triliun menjadi Rp6.469 triliun.
Penurunan laba BUMN juga terlihat dari kontribusi ke pemerintah dari dividen. Pada 2016 saja, kontribusi dividen BUMN ke pemerintah tercatat Rp200 triliun atau turun dari tahun sebelumnya Rp213 triliun.
“Sebagai hasilnya, BUMN tidak terinsentif untuk memaksimalkan profit atau efisiensi belanja modal di bisnis inti mereka dan malah fokus mengembangkan portofolio dan asetnya,” imbuh laporan tersebut.
Hasilnya, BUMN juga dianggap lebih senang memilih pembiayaan dari perbankan karena arus kas BUMN tersendat. Ini terlihat dari kasus PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang membeli beberapa konsesi jalan tol mangkrak dari investor swasta. Akhirnya, posisi utang Waskita Karya tercatat Rp65,7 triliun atau membengkak dua kali lipat dari sebelumnya.
Oleh karena itu, Bank Dunia meminta BUMN agar tidak ‘malas’ memanfaatkan asetnya untuk mendulang pendapatan. Ini juga dimaksudkan agar BUMN bisa menghemat belanja modal dan meningkatkan nilai imbal hasil dari aset-aset yang dimilikinya.
Bahkan, Bank Dunia juga meminta BUMN untuk merestrukturisasi, divestasi, atau membubarkan anak-anak usaha BUMN yang tidak memiliki hubungan dengan bisnis inti yang dimiliki perusahaan induknya.
Uang hasil penjualan tersebut diharapkan bisa mendanai proyek infrastruktur di kemudian hari.
“Pemanfaatan aset ini adalah proses politik. Ini membutuhkan komitmen dari kepemimpinan pemerintah. Keputusan mengenai kepada siapa aset dijual, pada harga berapa, dan syarat-syaratnya tentu harus didukung oleh pemerintah agar tidak ada konflik kepentingan,” pungkas laporan tersebut.
CNNIndonesia.com telah menghubungi Bank Dunia terkait publikasi ini. Hanya saja, pihak bersangkutan belum merespons permintaan klarifikasi tersebut.
Sumber CNNIndonesia.com