Pemerintah meminta perbankan dapat menurunkan suku bunga kredit. Hal ini mengingat suku bunga acuan Bank Indonesia telah turun ke level terendah 3,5 persen.
Menyikapi hal ini, sejumlah Bank Himpunan Milik Negara (Himbara) telah menyesuaikan suku bunga kredit secara berkala. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk telah menurunkan suku bunga dasar kredit (SBDK) sejak 28 Februari 2021.
Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan penurunan SBDK mencakup seluruh segmen seperti korporasi, ritel, mikro, KPR, dan non KPR dengan penurunan sebesar 150 basis poin sampai 325 basis poin. “Penurunan terbesar diberikan kredit konsumer non KPR sebesar 3,25 persen. Adanya penurunan ini, SBDK non KPR berubah dari semula 12 persen menjadi 8,75 persen,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (3/2).
Sunarso merinci perseroan juga menurunkan SBDK KPR sebesar 2,65 persen, dari 9,90 persen menjadi 7,25 persen. Penurunan SBDK juga dilakukan segmen mikro sebesar 2,5 persen. Perubahan ini membuat SBDK mikro turun dari 16,50 persen menjadi 14 persen.
Pada kredit segmen korporasi dan ritel, perseroan melakukan penurunan SBDK masing-masing sebesar 1,95 persen dan 1,5 persen. Maka demikian saat ini, SBDK korporasi berubah dari 9,95 persen menjadi delapan persen. Kemudian, SBDK segmen ritel berkurang dari 9,75 persen menjadi 8,25 persen.
“Penurunan suku bunga kredit dilakukan untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional,” ucapnya.
Sebelumnya, sepanjang 2020 lalu perseroan telah menurunkan suku bunganya sebesar 75 basis poin sampai 150 basis poin, bahkan khusus untuk restrukturisasi keringanan suku bunga, perseroan menurunkan antara 300 basis poin sampai 500 basis poin.
Selain tren suku bunga acuan yang terus menurun, lanjut Sunarso, penurunan suku bunga kredit dilakukan karena menurunnya beban biaya dana atau cost of fund dan meningkatnya level efisiensi perbankan yang disebabkan berbagai inisiatif digital yang terus dilakukan.
“Meski telah menurun tetapi perubahan suku bunga kredit bukan menjadi satu-satunya variabel penentu besar/kecilnya permintaan pembiayaan. Berdasarkan analisa ekonometrika, variabel paling sensitif atau elastisitasnya paling tinggi terhadap pertumbuhan kredit adalah tingkat konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat,” ungkapnya.
Sementara PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk juga memangkas suku bunga kredit demi merangsang percepatan pertumbuhan kredit tahun pada tahun ini. Pada awal 2021, perseroan telah melakukan penyesuaian bunga kredit sejalan dengan bunga acuan.
Per 28 Februari 2021, kredit konsumsi non KPR ditetapkan sebesar 8,75 persen telah turun dibandingkan akhir Desember 2020 sebesar 11,7 persen. Kemudian kredit KPR sebesar 7,25 persen turun dibandingkan posisi akhir 2020 sebesar 10 persen.
Perseroan juga menurunkan SBDK kredit ritel menjadi 8,25 persen atau lebih rendah dibandingkan posisi akhir Desember 2020 sebesar 9,8 persen. Maka demikian SBDK kredit korporasi menjadi delapan persen atau turun dibandingkan posisi Desember 2020 sebesar 9,8 persen.
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan kredit berkaitan erat dengan pertumbuhan permintaan domestik yang menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi. Hal penting bagi perbankan untuk meyakinkan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian.
“Dalam menentukan suku bunga kredit hingga ke setiap debitur, kami akan memperhitungkan komponen estimasi premi risiko yang besarnya tergantung penilaian bank terhadap risiko pada masing-masing debitur atau kelompok debitur,” ucapnya.
Ke depan Royke menekankan perseroan akan melakukan review suku bunga secara berkala. Salah satu strategi perseroan berupaya menekan biaya dana atau cost of fund, sehingga suku bunga kredit juga bisa lebih rendah mengikuti tren penurunan suku bunga Bank Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui hingga saat ini bunga kredit perbankan masih tinggi. Pemerintah berupaya melakukan komunikasi dengan bank agar suku bunga acuan dan suku bunga kredit BI dapat ditransmisikan kepada nasabah.
“Kami akan komunikasikan karena memang yang diminta perbankan adalah agar penurunan suku bunga BI 7-Day Repo Rate dan lending rate (suku bunga kredit) bisa ditransmisikan kepada konsumen,” katanya belum lama ini.
Dikhawatirkan jika suku kredit perbankan tak kunjung turun, masyarakat tidak mengambil kredit mobil dan rumah meski diberi kebijakan pembebasan pungutan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) serta pajak pertambahan nilai (PPN).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut hal ini menjadi perhatian Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), termasuk Kemenkeu, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada rapat KSSK terakhir, bahwa OJK telah menyampaikan alasan kenapa setiap bank menahan suku kredit di level tertentu.
Setidaknya ada tiga alasan yang membentuk suku kredit, yakni kondisi neraca awal, kesehatan tiap bank, dan cost of fund (biaya dana). Itulah alasannya suku kredit bank tiap perbankan tidak bisa diseragamkan. Namun, bukan berarti bank bisa secara bebas menentukan suku kredit masing-masing kepada nasabah.
“Harus ada efisiensi transmisi dan prediktabilitas antara kebijakan dan implementasinya pada level riil,” ucapnya.
Oleh karena itu, dia menyebut pekerjaan rumah ini akan kembali didiskusikan dalam rapat KSSK selanjutnya dan informasi akan disampaikan kepada publik setelah itu.
“Harus ada prediktabilitas dari sebuah policy rate yang seharusnya tercermin relatif umum dalam bentuk lending rate yang mencerminkan tingkat suku bunga yang turun cukup tajam dalam kurun beberapa waktu terakhir,” jelasnya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan selama masa pandemi Bank Sentral telah berupaya keras menggunakan seluruh instrumen kebijakannya untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional. Di samping kebijakan suku bunga, Bank Indonesia juga telah melakukan penambahan likuiditas atau quantitative easing (QE) perbankan.
Per 16 Februari 2021, QE yang dilakukan Bank Indonesia sebesar Rp 750,38 triliun atau setara dengan 4,86 persen dari produk domestik bruto (PDB) sejak 2020 lalu.
“Bank Indonesia juga telah menambah likuiditas perbankan sebesar Rp 750,38 triliun atau 4,86 persen dari PDB termasuk salah satu yang terbesar emerging market,” ucapnya.
Selain itu, Bank Indonesia juga telah melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) melalui skema burden sharing sebesar Rp 40,77 triliun, mulai dari awal tahun hingga 16 Februari 2021, sesuai dengan keputusan bersama Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan pada 16 April 2020 yang diperpanjang hingga 31 Desember 2021.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Februari 2021 lalu, Bank Sentral juga memutuskan untuk melonggarkan rasio Loan To Value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah hingga 100 persen dan pelonggaran uang muka nol persen bagi kredit kendaraan bermotor hingga nol persen persen untuk mendorong konsumsi masyarakat.
“Bank Indonesia sudah all out semua instrumen bersinergi untuk memulihkan ekonomi,” ungkapnya.
Sumber Republika, edit koranbumn