Bio Farma kembali mengumpulkan peneliti – peneliti level nasional dari seluruh Indonesia untuk berkumpul bersama, dalam rangkaian acara Forum Riset Life Science Nasional (FRLN), yang diselenggarakan pada tanggal 13 September 2018 di Jakarta. Kegiatan yang bertema “Riset dan Inovasi Bidang Life Science yang Berkelanjutan di Indonesia” bertujuan membangun sinergi antara Pemerintah, Perguruan Tinggi, Industri serta Komunitas pendukungnya, sebagai upaya agar vaksin dan biopharmaceutical buatan dalam negeri dapat segera terwujud.
Menurut Direktur Riset dan Pengembangan Bio Farma, Adriansjah Azhari sesuai dengan Instruksi Presiden No 6 Tahun 2016 mengenai Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Bio Farma terus melakukan upaya percepatan dan kemandirian dalam pengembangan produk biopharmaceutical dan vaksin.
“Untuk mempercepat hilirisasi dan komersialisasi produk biopharmaceutical dan vaksin, Bio Farma memerlukan kerjasama dan juga dukungan dari berbagai pihak baik dari Pemerintah termasuk regulator, peneliti – baik peneliti yang berasal dari akademisi, lembaga riset, maupun komunitas, sehingga nantinya produk-produk baru bisa dinikmati oleh masyarakat luas secara tepat waktu sesuai kebutuhan”, ujar Adriansjah.
Direktur yang juga expert di bidang current Good Manufacturing Practice (cGMP) mengatakan bahwa Bangsa Indonesia layak kagum dan bangga dengan prestasi rekan-rekan peneliti life science di Indonesia. Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, para peneliti yang tergabung dalam FRLN berhasil menunjukkan hasil kerja nyata. Pada saat acara FRLN 2018 akan diluncurkan prototipe kit HbsAg dan dan kit antiHBsAg yang masing – masing memiliki fungsi untuk mendeteksi virus HbsAg dan mendeteksi keberhasilan imunisasi. Kit tersebut merupakan hasil kolaborasi antara Bio Farma, & ITB, serta merupakan penelitian lanjutan dari Konsorsium Hep B yang terdiri dari Lembaga Eijkman, ITB, BPPT dan Bio Farma.
Neni Nurainy, Peneliti Senior Bio Farma sekaligus Ketua FRLN 2018, menjelaskan lebih lanjut bahwa kit HbsAg temuan konsorsium riset Hepatitis B memiliki keunggulan dibanding kit diagnostik tipe screening yang ada di pasaran, yaitu mampu mendeteksi titer virus secara kuantitatif. Sehingga hasil diagnosa yang didapat akan lebih akurat menggambarkan kondisi pasien yang diperiksa dibanding kit screening yang hanya memberi hasil positif dan negatif.
Neni mengharapkan kehadiran kit diagnostik asli buatan negeri sendiri bisa menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat untuk melindungi diri dari ancaman infeksi Hepatitis B yang pada tahun 2017 diperkirakan menginfeksi 7,1% dari penduduk Indonesia.
Kendala Penelitian Life Science
Namun dibalik keberhasilan yang dicapai dengan susah payah tersebut, menurut Neni tersimpan kendala besar. Kebutuhan mendesak saat ini untuk menjaga keberlanjutan riset life science adalah ketersediaan pendanaan jangka panjang atau multi years untuk kelanjutan riset dari awal sampai menghasilkan luaran berupa produk.
“Selama ini jangka waktu pendanaan relatif pendek, tidak berkelanjutan, kadang satu tahun dapat dana, tetapi tahun berikutnya tidak dapat dana, sehingga target roadmap penelitian tidak tercapai. Pendanaan penelitian untuk Konsorsium masih competitive based dan terkadang persyaratan administrasi yang tidak terpenuhi. Kami mengharapkan Konsorsium riset yang telah terpilih secara kompetitif akan mendapat pendanaan jangka panjang hingga menghasilkan produk” lanjut Neni.
Lebih jauh Neni menjelaskan untuk mengatasi kendala tersebut pada FRLN 2018 akan dihadirkan pembicara dari Kemenristek Dikti, Kemenkeu, dan LPDP selaku pengelola dana penelitian milik negara. Diharapkan akan ditemukan solusi jangka panjang. Terutama pembiayaan untuk riset-riset rintisan.
Peneliti yang memiliki keahlian pengembangan vaksin rekombinan ini menambahkan bahwa disamping pendanaan jangka panjang, faktor lain yang menentukan keberlanjutan riset dan inovasi bidang life science di Indonesia adalah bagaimana membangun komunikasi yang baik antara industri, akademisi, pemerintah dan komunitas. Karena faktanya, ada beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh perguruan tinggi, ternyata tidak bisa dipakai oleh industri, karena belum sesuai dengan standar kebutuhan industri.
“Forum ini bertujuan untuk melakukan sinkronisasi antara kebutuhan industri khususnya produk vaksin dan biopharmaceutical, dengan penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi / lembaga riset, sehingga nantinya, hasil penelitian dari institusi tersebut bisa ditindaklanjuti dan diproduksi dalam skala industri yang pada akhirnya bisa tercipta pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai dengan jenis penyakit yang sedang dihadapi oleh Indonesia” ujar Neni.
Tentang Forum Riset Life Science Nasional (FRLN)
Forum yang dibentuk pada tahun 2011 semula bernama Forum Riset Vaksin Nasional (FRVN) dibentuk atas inisiatif PT Bio Farma sinergi dengan Kemenristek, Lembaga Riset, Universitas dan Kemenkes. Forum yang selalu dihadiri oleh para periset/peneliti Indonesia dari Universitas, Pemerintah dan Industri, khususnya periset dalam bidang Vaksin dan Life Science, bertujuan untuk melakukan pengembangan vaksin dan produk Life Science baru dalam negeri untuk kemandirian riset Nasional.
FRLN 2018 akan diikuti oleh dua belas konsorsium dan working group riset, yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), Hepatitis B, Human Human papillomavirus (HPV), Stemcell, Eritropoetin (EPO), Tuberculosis (TBC), Demam Berdarah (Dengue), Influenza, Malaria, Rotavirus, Stem Cell, Pneumococcus dan Delivery System.