Gojek resmi menjadi salah satu investor LinkAja. Startup raksasa asal Indonesia ini masuk dompet digital BUMN ini melalui putaran pendanaan seri B yang sedang diselenggarakan perusahaan.
Suntikan dana segar ini akan akan membuat LinkAja bermitra dengan Gojek. LinkAja akan akan menjadi salah satu alat pembayaran di aplikasi Gojek Indonesia. Dengan menggabungkan kekuatan, Gojek dan LinkAja akan menciptakan pengalaman pembayaran nontunai yang mulus di seluruh segmen pasar pelengkap yang mencakup berbagai kebutuhan pengguna.
“Kami sangat senang Gojek bergabung dengan kami sebagai pemegang saham, menyusul investasi yang dilakukan oleh pemegang saham terkemuka LinkAja lainnya dalam penggalangan dana Seri B,” ujar Haryati Lawidjaja, CEO LinkAja dalam keterangan tertulis, Selasa (9/3/2021).
“Investasi ini memberikan LinkAja akses yang lebih besar ke ekosistem Gojek, yang selanjutnya akan mendukung tujuan LinkAja untuk mempercepat inklusi keuangan di Indonesia.”
Lantas apa alasan di balik investasi ini? Bagi pengamat ekonomi dari Inventure Knowledge Yuswohady, apa yang dilakukan Gojek pada LinkAja merupakan pendekatan ekosistem, untuk menyempurnakan ekosistem yang sudah dimiliki Gojek.
“Jadi kalau digital itu konsentrasinya lebih gampang dan berdasarkan teori ekonomi ini kecenderungannya mengarah pada monopolistik. Dalam sistem digital hanya 1-2 pemain besar yang bertahan,” ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Bagi Yuswohady, Gojek menjadi investor di LinkAja untuk menyempurnakan ekosistemnya. Saat ini Gojek dan GoPay sangat kuat di perkotaan tetapi tidak di daerah pinggiran. Ini menjadi kekuatan LinkAja.
Saat ini, platform LinkAja sebagian besar difokuskan pada pembayaran untuk ritel, layanan publik, dan kebutuhan sehari-hari lainnya, dengan ~ 80% pengguna terdaftarnya berasal dari kota-kota Tier 2 dan Tier 3 di Indonesia.
“Bagi perusahaan langkah ini menguntungkan karena membuat ekosistem makin luas dan efisien. Bagi konsumen juga menguntungkan karena lebih efisien,” jelasnya.
Namun, penguasaan ekosistem yang bersifat monopolistik harus diwaspadai karena menciptakan negara dalam negara. Mereka akan lebih enggak diatur karena memiliki ekosistem yang kuat dan pemerintah bisa dianggap sebagai hambatan.
“Kita melihat bagaimana Alibaba di China atau Facebook di Amerika Serikat. Mereka enggak diatur karena sudah besar. Mereka mengatur ekosistemnya sendiri. Itulah sebabnya China bertindak keras kepada Alibaba dan AS mulai mengusut soal akuisisi Instagram dan WhatsApp oleh Facebook bahkan ada wacana untuk dibatalkan akuisisi tersebut. Ini harus jadi perhatian,” jelasnya.
Sumber CNBC, edit koranbumn