PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. tengah menegosiasi ulang sejumlah pinjaman jangka pendek perseroan. Hal itu dilakukan setelah maskapai nasional tersebut menunda penerbitan obligasi global atau global bond karena kondisi pasar yang lesu dan likuiditas terbatas.
Berdasarkan catatan perseroan, utang jangka pendek emiten dengan kode saham GIAA tersebut mencapai 65% dari total pinjaman perseroan yang akan jatuh tempo sepanjang tahun ini. Saat ini, negosiasi GIAA dan beberapa bank masih terus berlanjut.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Helmi Imam Satriyono menyampaikan perseroan telah melunasi sejumlah pinjaman jangka pendek dengan menggunakan dana yang diperoleh dari skema sekuritisasi sekaligus arus kas dari pemasukan harian perseroan.
“Ada beberapa [pinjaman jangka pendek] dari bank yang akan jatuh tempo. Kami masih mengupayakan negosiasi dengan beberapa pihak untuk melihat utang jangka pendek tersebut, misalnya yang 1 tahun, apakah dapat diperpanjang menjadi 3 atau 5 tahun,” ungkap Helmi kepada Bisnis akhir pekan ini.
Helmi menjelaskan komposisi utang jangka pendek saat ini sangat mendominasi, mencapai 65% dari total utang maskapai pelat merah tersebut. Simultan dengan upaya memperpanjang periode jatuh tempo, manajemen GIAA juga membidik perolehan dana dari sindicated loan dan bilateral loan.
Pada awal Juli 2018, perseroan telah menyelesaikan pembayaran obligasi berdenominasi rupiah senilai Rp2 triliun. Obligasi dengan tenor 5 tahun tersebut dibayarkan perseroan dengan dana Rp2 triliun dari sekuritisasi aset.
Bisnis mencatat pada awal tahun ini perseroan menargetkan pembiayaan kembali (refinancing) pinjaman dengan total sebanyak-banyaknya US$750 juta. Manajemen sempat berencana menerbitkan global bond senilai US$500 juta sebagai salah satu skema refinancing tersebut.
Merujuk kondisi pasar yang lesu sehingga dikhawatirkan menekan nilai emisi, perseroan akhirnya menunda penerbitan obligasi global tersebut.
“Bersamaan dengan menegosiasi utang jangka pendek, kami mengupayakan empat transaksi lain yaitu pinjamna bilateral, pinjaman sindikasi, sekuritisasi, dan global bond. Targetnya [pelunasan] memang up to US$750 juta namun kami akan sesuaikan [target perolehan dana refinancing] dengan kebutuhan Garuda Indonesia sebenarnya, sambil melihat kondisi pasar,” jelas Helmi.
Terkait pinjaman bilateral dan pinjaman sindikasi, Helmi menuturkan saat ini pihaknya tengah berdiskusi dengan beberapa bank yang dapat menyalurkan pinjaman dan menargetkan segera ada kesepakatan resmi.
Garuda Indonesia menargetkan laba bersih US$8,7 juta pada 2018. Target tersebut untuk membalikkan kerugian yang diderita pada 2017 senilai Rp2,13 triliun.
Pada kuartal I/2018, GIAA membukukan kerugian US$64,3 juta atau setara Rp868 miliar, menurun 36,5% dari kerugian yang diderita perseroan pada periode sama tahun sebelumnya (yoy).
Perusahaan membukukan pendapatan US$983 juta atau setara Rp13,27 triliun, meningkat 7,9% dibandingkan kuartal I/2017 yang sebesar US$910,7 juta.
Sumber Bisnis.com