Beberapa pekan terakhir Jalan tol Trans Sumatra (JTTS) ramai diperbincangkan.
Pasalnya, jalan tol ini rusak dan bergelombang sehingga memakan korban jiwa.
Di bagian selatan Pulau Sumatra , terdapat 3 ruas JTTS yang telah dioperasikan yakni ruas Bakauheni – Terbanggi Besar (Bakter) sepanjang 140,1 km dan Ruas Terbanggi Besar – Pematang Panggang – Kayu Agung (Terpeka) sepanjang 189 km yang dioperasikan oleh PT Hutama Karya serta ruas tol Kayu Agung – Palembang – Betung (Kapal Betung) seksi 1A Kayu Agung – Jakabaring dan seksi 1B Jakabaring – Jalintim dengan total sepanjang 42,5 Km yang dioperasikan oleh PT Waskita Sriwijaya Tol yang merupakan anak usaha dari PT Waskita Toll road (WTR).
Bisnis.com berkesempatan untuk menyusuri JTTS bagian Selatan. Perjalanan dimulai dari menyusuri tol Bakter yang letaknya dekat dengan Pelabuhan Bakauheni, Kabupaten Lampung Selatan yang kondisi jalan tolnya cukup mulus dengan menggunakan beton.
Lalu dilanjutkan menyusuri tol Terpeka dengan kondisi jalan aspal dan bergelombang.
Memang ruas tol Trans Sumatera ini berbeda dengan ruas tol Trans Jawa karena karakteristik tanah di Sumatra yang berawa sehingga menyebabkan jalan tol di JTTS ini tak semulus dengan Trans Jawa.
Tidak semua jalan di ruas JTTS ini rigid pavement atau perkerasan kaku adalah jenis perkerasan jalan yang menggunakan beton sebagai bahan utama perkerasan tersebut. Jalan tol JTTS yang melintasi rawa menggunakan perkerasan lentur atau aspal.
Direktur Operasi III PT Hutama Karya (Persero) Koentjoro mengatakan karakteristik tanah yang ada di tol Terpeka ini sebagian besar adalah rawa sehingga perkerasan jalan yang disarankan dari kajian teknis adalah fleksibel atau hotmix aspal.
Dengan model perkerasan jalan tersebut, maka perbaikannya akan lebih mudah dan efisien dilakukan.
“Selama ini banyak yang bertanya kok jalannya bergelombang, kenapa? Karakteristik dari tanah di tol Terpeka itu sebagian besar rawa. Karena kondisinya tersebut akhirnya membuat permukaan jalan tol kurang stabil sehingga terasa bergelombang,” ujarnya di Lampung, Kamis (20/1/2022).
Dengan menggunakan sistem pembangunan fleksibel di tanah rawa ini memang secara teori awal jalan akan terjadi gelombang dan lain sebagainya, namun hal itu akan mempermudah perbaikannya.
Kondisi tanah gambut ini membuat dalam pembangunan jalan tol Terpeka ini tak dilakukan dengan pengupasan tanah. Hal ini untuk menjaga ekosistem agar tak rusak.
Teknologi yang digunakan di tol Trans Sumatra menggunakan teknologi vacuum consolidation method (VCM) yang merupakan terobosan baru dalam konstruksi jalan tol di Indonesia.
Teknologi VCM juga merupakan perangkat teknologi yang ramah lingkungan, serta mampu meminimalisir sumber daya dan penggunaan alat berat di lapangan.
Teknologi VCM memiliki manfaat dalam mengurangi kadar air maupun udara dalam tanah. Pasalnya, pembangunan jalan tol tersebut didominasi pengerjaan di atas tanah rawa dengan medan yang berat, sehingga memerlukan metode konstruksi khusus.
“Jadi memang tanahnya tidak kami kupas karena dilarang dan sebagai upaya menjaga ekosistem, tetapi kami vacuum agar kadar air berkurang dalam tanah sehingga tanah ini kering dan mantap,” ucapnya.
Kondisi tanah yang sebagian besar rawa ini memang membuat adanya penurunan jalan sehingga tak rata, bergelombang dan bahkan berlubang. Meski ada penurunan 1 cm ini, tentu dirasakan oleh pengendara.
Hutama Karya kini sedang bekerja sama dengan tenaga ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam melakukan penyelidikan untuk perbaikan titik-titik yang bergelombang.
“Untuk memantapkan kekerasan tanah di titik-titik yang dulu rawa pada Tol Terpeka sekarang kami sedang bekerjasama dengan ITB untuk mencari treatmentnya seperti apa sehingga timbunan tanahnya bisa kering dan keras,” katanya.
Menurutnya, terdapat kontruksi yang efektif untuk jalan tol di atas rawa yakni kontruksi pile slab atau pondasi tiang panjang sehingga seperti berbentuk jembatan. Namun, kontruksi ini memakan biaya yang besar yakni Rp300 miliar per kilometernya. Angka ini lebih besar 2 kali hingga 3 kali lipat dari konstruksi jalan tol. biasanya
Sambil menunggu hasil penelitian ITB selesai, saat ini telah dilakukan perbaikan segmental untuk titik-titik tersebut sehingga di sejumlah kilometer pengendara akan terganggu kenyamanannya. Adapun perbaikan yang dilakukan yakni misal di KM 190 dan KM 318 karena adanya lubang dan gelombang.
“Sambil menunggu riset tersebut selesai, kita melakukan perbaikan segmental yang ruas berlubang ya kita tutup tiap 10 meter, nanti kalo sudah lebih nyaman lagi 20 meter. Kita harapkan pertengahan tahun penelitiannya selesai dan akan kami perbaiki semua dan dilakukan pelapisan ulang kembali dan secara menyeluruh dipertengahan tahun sehingga kenyamanan berkendara terbentuk,” tuturnya.
Sumber Bisnis, edit koranbumn