Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT KAI (Persero) Salusra Wijaya mengatakan kebutuhan investasi proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) membengkak atau mengalami cost overrun (kelebihan biaya) menjadi US$ 8 miliar atau setara Rp 114,24 triliun.
Menurut Salusra, estimasi tersebut turun dari perkiraan pembengkakan awal mencapai 8,6 miliar dolar AS atau Rp 122,8 triliun hingga US$ 11 miliar atau Rp 156,8 triliun.
“Jadi perkiraan awalnya itu akan berkembang menjadi US$ 8,6 miliar yaitu waktu dibuat estimasinya pada November 2020 oleh konsultan PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) dan estimasi konsultan PSBI itu bahkan mencapai antara US$ 9,9 miliar hingga US$ 11 miliar,” kata Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI Salusra Wijaya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR, Rabu (1/9/21).
Salusra menjelaskan biaya awal pembangunan KCJB adalah US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun. Dengan adanya perkiraan pembengkakan anggaran mencapai 8 miliar dolar AS artinya terdapat kenaikan sekitar 1,9 miliar dolar AS atau setara Rp 27,09 triliun.
“Jadi ada kenaikan kira-kira US$ 1,9 miliar dengan komposisi yaitu Engineering, Procurement and Construction (EPC) dan Non-EPC 80 persen banding 20 persen,” jelasnya.
Salursa mengaku telah melakukan pergantian manajemen PT KCIC sebagai upaya untuk melakukan efisiensi dan menekan cost overrun. Beberapa efisiensi yang dilakukan untuk menekan cost overrun yaitu mulai dari memangkas biaya, relokasi pembangunan stasiun, pengelolaan Transit Oriented Development (TOD) dan lainnya.
“Dengan new management, Kami berhasil melakukan beberapa efisiensi cost cutting, termasuk efisiensi dalam pengelolaan TOD, relokasi stasiun dan yang lainnya. Alhamdulillah bisa ditekan anggarannya menjadi US$ 8 miliar,” ujarnya.
Berdasarkan riset yang dilakukan, cost overrun tidak hanya terjadi pada proyek kereta cepat di Indonesia. Hal tersebut juga dialami pada berbagai proyek kereta cepat di dunia.
Dia mencontohkan proyek kereta cepat di China mengalami cost overrun mencapai US$ 2,5 miliar atau ekuivalen Rp 35,6 triliun.
Selanjutnya, kereta cepat di Taiwan mengalami cost overrun US$ 1,7 miliar atau Rp 24,2 triliun, kereta cepat di Madrid alami cost overrun US$ 4,2 miliar atau setara Rp 59,8 triliun dan kereta cepat di Djibouti dibangun dengan cost overrun sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,2 triliun.
Kenaikan kebutuhan anggaran kereta cepat di banyak negara ini terjadi karena berbagai faktor. Di Indonesia sendiri, karena adanya kenaikan biaya konstruksi, medan yang sulit, pembebasan lahan, biaya head office dan pra-operasi, dan biaya yang lainnya.
KCJB membuka 14 terowongan menembus gunung yang sangat sulit medannya. Hal itu menjadi sebab juga terjadinya cost overrun.
“Jadi proyek kereta cepat di dunia itu ada cost overrun kedua, dan pendanaan itu semuanya dibiayai dari anggaran pemerintah. Jadi memang kita masih ada PR dan tentu sangat membutuhkan peran aktif pemerintah di dalamnya,” tuntas dia.
Sumber Kontan, edit koranbumn















