PT Kereta Api Indonesia (Persero) mengakui bahwa proyek Light Rail Transit atau LRT Jabodebek telah membebani perseroan.
Untuk diketahui, perusahaan perkeretaapian milik negara itu ditugaskan untuk membayar kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana LRT sekitar Rp30 triliun.
Di sisi lain, Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo menyebut perseroan masih mengalami kerugian per 2021 sebesar Rp359 miliar. Namun, kerugian tersebut jauh lebih rendah dari 2020 yakni tembus Rp1,69 triliun.
“Kerugian di 2020 sekitar Rp1,7 triliun akibat jumlah penumpang yang turun sangat signifikan. Pada 2021, kerugian ditekan hingga menjadi Rp359 miliar,” tuturnya pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR, Rabu (6/7/2022).
Kerugian berhasil ditekan pada 2021 karena pendapatan yang mencapai sebesar Rp15,5 triliun pada tahun lalu, atau tumbuh 8 persen dari 2020. Pendapatan 2021 ditopang utamanya karena angkutan barang Rp7,4 triliun, angkutan penumpang Rp2,4 triliun, kompensasi dari pemerintah atau Public Service Obligation (PSO), serta pendapatan lainnya.
Sebelumnya, Didiek mencatat kontribusi KAI kepada pemerintah sebagai pemilik saham keseluruhan (100 persen) sempat mencapai posisi tertinggi pada 2019, atau setahun sebelum pandemi. Pada saat itu, perseroan pernah menyetorkan Rp3 triliun yang berasal dari pajak Rp1,6 triliun, PNBP Rp1 triliun, dan dividen Rp400 miliar.
Pada 2021, setoran pajak ke kas negara dari KAI sebesar Rp1 triliun dan PNBP Rp400 miliar. Sampai dengan Mei 2022, Didiek mencatat pendapatan berasal dari pajak tercatat sebesar Rp300 miliar dan PNBP sekitar Rp100 miliar.
“Pada 2020 walaupun rugi sekitar Rp1,7 triliun namun secara pajak kami tetap kontribusi Rp1,3 triliun dan PNBP Rp600 miliar,” tuturnya.
Ke depan, KAI melihat kondisi semakin pulih sejalan dengan mobilitas penumpang yang semakin longgar sejak April 2022. Bersamaan dengan hal tersebut, KAI ditugaskan oleh pemerintah terkait dengan beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN), salah satunya LRT Jabodebek.
Sumber Bisnis, edit koranbumn