PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) menyatakan, rencana pemerintah Indonesia untuk mengembangkan ekonomi digital sangat berkorelasi dengan pertumbuhan infrastruktur telekomunikasi. Pasalnya, digitalisasi tidak dapat berjalan apabila tidak ditunjang dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Sebagaimana diketahui, pemerintah menargetkan ekonomi digital dapat berkontribusi sebesar 18% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun 2030. Sementara saat ini, kontribusi ekonomi digital baru sekitar 4% dari PDB.
Untuk mewujudkan target tersebut, Direktur Utama Telkom Ririek Ardiansyah menyampaikan, selaku BUMN yang bergerak di bidang telekomunikasi, Telkom akan membantu pemerintah membangun konektivitas secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini juga dilakukan untuk mendorong lahirnya kawasan ekonomi baru sesuai rencana pemerintah.
Ririek menjabarkan, anak usaha Telkom di bidang seluler yakni PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) kini memiliki 231.000 base transceiver station (BTS) yang menjangkau 99% populasi penduduk. Sementara layanan fiber to the home (FTTH) IndiHome sudah menjangkau 496 kabupaten/kota atau sekitar 95,6% dari keseluruhan.
Akan tetapi, hingga saat ini, masih ada lebih dari 12.000 desa yang masuk dalam wilayah 3T yang belum memiliki infrastruktur komunikasi yang memadai. “Kami siap mendukung pemerintah untuk menjangkau daerah tersebut sehingga paling tidak akhir tahun depan ada konektivitas di 12.000 lebih desa tersebut,” kata Ririek dalam acara Investor Daily Summit yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (13/7).
Tantangan lainnya juga berasal dari ketersediaan perangkat telekomunikasi yang dimiliki penduduk. “Masih ada sekitar 25% penduduk Indonesia yang belum menggunakan smartphone sehingga masih terbatas mengakses data ataupun aplikasi,” ucap Ririek. Oleh sebab itu, Telkom juga akan mendukung percepatan penetrasi smartphone di masyarakat.
Untuk mengembangkan konektivitas, Telkom juga sudah mulai membangun jaringan 5G meski jangkauannya masih terbatas. Dalam strategi bisnisnya, Telkom juga memperluas platform dan layanan digitalnya dengan membangun data center, serta mengembangkan big data, cloud, dan artificial intelligence, serta berbagai aplikasi untuk konsumen retail maupun korporasi.
Meskipun begitu, menurut Ririek, perlu disadari bahwa Telkom tidak sendiri dalam mengembangkan industri telekomunikasi dan digital, melainkan ada juga pelaku usaha dari luar negeri. Ririek khawatir, apabila tidak dipagari dengan baik, maka akan terjadi persaingan usaha yang timpang.
Oleh sebab itu, menurut Ririek, Telkom membutuhkan dukungan dari para pemangku kepentingan yang berwenang untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Pertama, Telkom mengharapkan regulasi yang mampu mendukung keberpihakan pada produk dan layanan dalam negeri yang mendorong percepatan pertumbuhan industri dan ekonomi digital di Indonesia.
Kedua, Telkom membutuhkan regulasi yang mendukung terjadinya persaingan usaha yang lebih sehat dan menumbuhkan investasi di Indonesia dengan tetap memberlakukan batasan kepemilikan asing. “Perlu ada pembatasan kepemilikan asing terhadap usaha di bidang yang sangat strategis. Apalagi biasanya investor asing memiliki skala dan kemampuan finansial lebih besar,” ungkap Ririek.
Ketiga, Telkom membutuhkan regulasi yang mendukung hak dan kewajiban yang seimbang antara para raksasa teknologi/ over the top (OT) dengan operator telekomunikasi lokal, baik dalam perlindungan data, kewajiban pembayaran pajak, PNBP (BHP & KPU USO) maupun secara kesepakatan bisnis.
Terakhir, perlu adanya regulasi yang mendukung pertumbuhan optimal industri telekomunikasi dengan menyediakan sumber daya misalnya spektrum frekuensi untuk 5G. Telkom juga mengharapkan adanya harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan pusat. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pengeluaran yang tidak perlu demi menjaga keberlanjutan kualitas layanan dan bisnis pelaku usaha.
Sumber Kontan, edit koranbumn