Perkembangan teknologi saat ini memaksa banyak perusahaan untuk semakin mengembangkan bisnisnya. Hal ini dilakukan agar perusahaan tidak terkena imbas inovasi disruptif (Disruptive Innovation), yakni inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut.
Dalam International Conference on Science, Management and Engineering (ICSME) 2018 yang digelar di Jakarta, Senin (22/10), Profesor Manajemen Universitas Indonesia Rhenald Kasali mengungkapkan bahwa teknologi mempengaruhi gaya hidup masyarakat dan menyebabkan disrupsi salah satunya dalam hal konsumsi energi. Perkembangan teknologi pun membuat energi menjadi hal yang semakin dibutuhkan masyarakat.
Di tengah kondisi tersebut, Rektor Sekolah Tinggi Teknik (STT) PLN, Supriadi Legino, justru menawarkan skema “back to simple technology”, terutama untuk pemerataan rasio elektrifikasi melalui pengembangan Energi Baru Terbarukan.
Komitmen PLN untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan tertuang dalam RUPTL. Supriadi menilai, PLN perlu menerapkan pola baru untuk mengejar target tersebut, yakni melalui konsep Listrik Kerakyatan. Konsep ini terinspirasi dari upaya pemerataan rasio elektrifikasi hingga ke seluruh pelosok negeri.
Listrik Kerakyatan merupakan inisiatif untuk menghasilkan pembangkit energi terbarukan skala kecil dan sederhana yang tersedia di sekitar masyarakat, seperti matahari, angin dan sampah. Menurutnya, sampah adalah sumber energi terbaik yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat setempat.
“Tantangan membangun pembangkit besar sangat kompleks dan penarikan jaringan membutuhkan biaya yang sangat mahal. Sementara itu, investasi untuk membangun pembangkit- pembangkit kecil yang dapat dikelola rakyat sendiri lebih murah. Dan kita tidak lagi bergantung pada investor asing,” ungkap Supriadi saat memberikan paparan di ICSME 2018.
Supriadi menerangkan, setiap tahun di APBN tersedia Rp 70 Triliun dana desa. Setiap desa punya alokasi dana hampir Rp 1 Milyar. Hal ini dapat digunakan untuk mendanai investasi tenaga listrik oleh rakyat, dari rakyat, untuk rakyat.
Metode sederhana untuk menerapkan konsep ini adalah melalui Tempat Olah Sampah Setempat (TOSS) dimana sampah diolah di sumbernya sendiri oleh masyarakat setempat dengan alat yang sederhana dan dijadikan bahan komoditas berupa bricket atau pellet bahan bakar. Pellet ini diubah menjadi sintetik gas dengan gas in fire.
“Jadi alat tambahannya hanya gas in fire. Peralatannya hampir 100% bisa dibuat di dalam negeri,” imbuhnya.
Berangkat dari gagasan ini, STT PLN dan PT Indonesia Power berhasil membuat bahan bakar sampah yang diujicobakan dan diimplementasikan di Kabupaten Klungkung dan PLTD Pesanggrahan, Bali.
“Diesel adalah mesin yang paling efektif untuk masuk ke pelosok daerah. Dan bricket pellet ini berhasil menghemat penggunaan minyak solar untuk diesel sedikitnya 80%. Jadi energi fosil sudah disubtitusi dengan sampah,” jelas Supriadi.
TOSS juga bisa digunakan untuk campuran coal firing atau campuran batubara. Jadi PLTU tidak sepenuhnya menggunakan batubara tapi berkontribusi juga menggunakan bio fuel atau sampah. Sebagai perkiraan, 3 ton sampah sehari dapat menghasilkan energi listrik sebesar 15 kW (kilo Watt).
“Saya sudah hitung, skema listrik kerakyatan dapat menghemat hampir separuh anggaran investasi listrik desa yang ada di RUPTL,” kata Supriadi.
Langkah selanjutnya untuk produksi massa, perlu adanya edukasi kepada masyarakat dan dukungan regulasi pemerintah apakah PLN akan membeli listrik tersebut baik untuk coal firing maupun sambungan ke konsumen.
Sumber PLN