Mining Industry Indonesia (MIND ID) bakal ikut ambil bagian dalam pengembangan Logam Tanah Jarang (LTJ) atau rare earth element (REE). Pasalnya, mineral ini merupakan komoditas penting dalam pengembangan industri strategis termasuk pertahanan dan kesehatan.
Senior Vice President Corporate Secretary MIND ID Rendi A. Witoelar mengungkapkan, holding pertambangan BUMN itu sudah melakukan identifikasi pada sejumlah jenis LTJ yang ada di Indonesia. Namun sampai saat ini yang paling dominan teridentifikasi baru pada monasit dari timah dan lumpur merah (red mud) dari pengolahan bauksit menjadi alumina.
“Ada beberapa (LTJ yang teridentifikasi), tapi yang paling dominan dua itu,” kata Rendi
Dia menjelaskan, ada empat hal yang menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan LTJ di Indonesia. Pertama, cadangan dan keberlanjutannya. Kedua, teknologi pengolahannya.
Ketiga, kelayakan keekonomian. Keempat dukungan dari regulasi, terutama karena pengolahan LTJ terkait dengan elemen radio aktif yang butuh perizinan.
Selain itu, serapan dari industri dalam negeri untuk mengolah ke produk lanjutannya mesti menjadi perhatian serius, jika pengembangan LTJ ingin terintegrasi dari hulu hingga hilir atau ke produk akhir.
Dari sejumlah pertimbangan di atas, Rendi mengungkapkan bahwa pengolahan monasit dari pertambangan timah di Bangka Belitung masih perlu waktu lebih lama. Sebab, masih dibutuhkan eksplorasi lanjutan untuk mengetahui tingkat cadangan yang berkelanjutan.
Menurut Rendi, hal itu penting lantaran ketersediaan dan keberlanjutan bahan baku akan mempengaruhi tingkat keekonomian yang layak saat pabrik pengolahan (smelter) itu dibangun.
“Setelah kami teliti perlu ada eksplorasi lanjutan untuk memastikan ketersediaan bahan baku. Agar ketika dieksploitasi bisa ekonomis,” ungkapnya tanpa merinci jangka waktu yang diperlukan untuk pengembangan monasit tersebut.
Namun, beda kasusnya dengan lumpur merah (red mud). Pasokan red mud sebagai produk samping atau sisa olahan bauksit menjadi alumina ini bakal melimpah, setelah beroperasinya Smenter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.
Seperti diketahui, saat ini PT Inalum (Persero) dan PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) bekerjasama untuk membangun SGAR dengan kapasitas 1.000 Ktpa Alumina. Proyek dengan investasi senilai US$ 841 juta itu saat ini tengah dalam proses pematangan lahan (early work).
“SGAR kan tahun 2022 (ditargetkan) sudah operasional. Tahap berikutnya memanfaatkan red mud, sisa olahan alumina. Monasit perlu waktu, karena proses eksplorasi lagi, kalau red mud akan melimpah pasokannya,” terang Rendi.
Nantinya, red mud akan diolah menjadi Scandium yang memiliki nilai strategis bagi industri pertahanan maupun kesehatan. Namun, untuk mengembangkan itu MIND ID harus terlebih dulu membangun smelter pengolahan red mud karena fasilitasnya berbeda dari SGAR milik Inalum-Antam. Saat ini, perusahaan terbesar yang melakukan pengolahan red mud adalah Rusal dari Rusia.
Rendi mengatakan, pihaknya masih melakukan kajian terkait pembangunan smelter red mud ini, mulai dari keekonomisan biaya, lokasi hingga teknologi yang digunakan. “Itu proyeknya cukup besar. Arahnya memang ke sana,” pungkas Rendi.
Sumber Kontan, edit koranbumn