Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025 bukan sekadar pesta bendera dan karnaval. Di balik gegap gempita perayaan, ada refleksi mendalam tentang arti kemerdekaan di era modern. Dunia kini bergerak cepat, dan kedaulatan tak lagi semata diukur dari kekuatan militer atau penguasaan wilayah. Kemampuan memenuhi kebutuhan strategis secara mandiri menjadi tolok ukur baru.
Di antara kebutuhan strategis itu, baja menempati posisi yang tak tergantikan. Dari jembatan yang menghubungkan pulau-pulau, rel kereta yang menggerakkan perdagangan, gedung yang menopang pusat pemerintahan, hingga kapal perang yang menjaga batas negara, semua membutuhkan baja. Jika pasokannya bergantung pada impor, kedaulatan menjadi rapuh.
Kesadaran ini membuat industri baja semakin dilihat sebagai penopang utama kemandirian ekonomi. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, sebagai produsen baja terbesar di Tanah Air, berada di garis depan upaya membangun kemandirian tersebut.
“Posisinya yang strategis membuat Krakatau Steel tak sekadar produsen, tetapi juga simbol ketahanan ekonomi nasional,” ungkap Direktur Utama Krakatau Steel Akbar Djohan.
Pelajaran dari Dunia: Baja sebagai Aset Strategis
Baja adalah bahasa universal pembangunan. Hampir semua negara yang serius menjaga kedaulatannya memiliki kebijakan khusus untuk melindungi industri ini. Amerika Serikat, yang sering dipersepsikan sebagai negara penganut perdagangan bebas, justru menerapkan tarif setinggi 50 persen untuk melindungi produsen dalam negeri.
Tiongkok menjadikan baja sebagai ujung tombak industrialisasi, menguasai lebih dari separuh produksi dunia melalui strategi terintegrasi yang melibatkan proteksi, subsidi, dan investasi besar-besaran. India bahkan membentuk Kementerian Baja untuk mengoordinasikan semua kebijakan lintas sektor.
Dari negara-negara dalam konflik seperti Ukraina hingga negara dengan perekonomian mapan seperti Uni Eropa, baja selalu diposisikan sebagai aset strategis. Di Ukraina, pabrik baja menjadi benteng pertahanan sekaligus sumber material militer. Di Eropa, baja dipandang sebagai bagian dari “kedaulatan strategis” yang harus diproduksi di dalam kawasan. Semua contoh ini mengajarkan bahwa industri baja bukan sekadar sektor ekonomi, melainkan bagian dari sistem pertahanan dan kedaulatan negara.
“Indonesia memiliki alasan kuat untuk mengambil pelajaran tersebut,” tegas Akbar.
Jika negara-negara besar rela memagari pasarnya demi melindungi baja, maka negara berkembang seperti Indonesia pun sepatutnya memiliki strategi perlindungan dan penguatan industri ini, tentu dengan penyesuaian terhadap kondisi domestik.
Kondisi Indonesia: Antara Capaian dan Ketergantungan
Setelah delapan dekade merdeka, Indonesia telah membuktikan kemampuannya menjaga kedaulatan politik. Namun, kemerdekaan ekonomi, khususnya di sektor baja, masih menghadapi tantangan. Kapasitas produksi baja nasional pada ahun ini ditargetkan di kisaran 21 juta ton per tahun, dengan target naik menjadi 27 juta ton pada 2029. Angka ini memang lebih tinggi dibanding masa lalu, tetapi masih jauh dari kebutuhan nasional, terutama untuk baja karbon yang dibutuhkan sektor infrastruktur, otomotif, dan pertahanan.
Kesenjangan antara kebutuhan dan kapasitas produksi ini membuat Indonesia bergantung pada impor. Situasi ini menyisakan risiko tersendiri: fluktuasi harga global, kebijakan proteksi negara eksportir, hingga gangguan rantai pasok internasional. Ketika harga baja melonjak di pasar dunia, pembangunan infrastruktur dalam negeri bisa ikut terganggu.
Akbar Djohan menegaskan, di sisi lain, Indonesia memiliki modal awal yang cukup menjanjikan. Krakatau Steel, tengah memperluas lini produksi dan meningkatkan kualitas produk, termasuk baja berkekuatan tinggi yang dibutuhkan untuk proyek-proyek strategis.
“Namun, upaya ini memerlukan dukungan ekosistem yang kondusif: pasokan bahan baku yang terjamin, kebijakan perdagangan yang melindungi industri lokal, serta investasi dalam teknologi yang kompetitif,” tambahnya.
Roadmap Krakatau Steel dalam Penguatan Industri Baja
Krakatau Steel sendiri, saat ini sudah memiliki roadmap hingga 2029 untuk menjadi panduan dalam penguatan bisnisnya. Adapun Langkah awal dengan melakukan pemulihan kinerja dan sinergi. Dalam tahap ini, Perseroan melakukan restrukturisasi hingga pengembangan integrated industrial estate/service.
Kemudian, langkah selanjutnya, melakukan optimalisasi rantai pasok dan integrasi operasi. Integrasi ini dilakukan denga memperluas sinergi indusri dari hulu ke hilir. Dan langkah pamungkasnya adalah dengan pengembangan kluster baja Cilegon kapasitas 10 juta ton. Dalam pengembangan ini, KS akan menginisasi Green Steel, bentuk fondasi pertumbuhan berkelanjutan, dan optimalisasi akses bahan baku dan energi terbarukan.
“Sederet upaya penguatan bisnis ini, akan meningkatkan dampak ekonomi nasional mencapai Rp 685 triliun dan menyerap 1 juta pekerja,” papar Akbar.
HUT ke-80: Momentum Menegaskan Kedaulatan Ekonomi
HUT ke-80 RI memberi kesempatan emas untuk melihat industri baja sebagai pilar kedaulatan ekonomi, bukan sekadar komoditas industri. Target ambisius untuk mencapai kapasitas produksi lebih dari 100 juta ton pada 2045 sejalan dengan visi Indonesia Emas. Namun, angka itu hanya akan bermakna jika dibarengi dengan penguasaan teknologi, perlindungan pasar, dan kebijakan yang berpihak pada produsen dalam negeri.
Membangun industri baja adalah perjalanan panjang yang memerlukan konsistensi lintas generasi. Ia bukan proyek yang bisa selesai dalam satu periode pemerintahan. Keberhasilan akan ditentukan oleh keberanian mengambil keputusan strategis, kesediaan berinvestasi pada kapasitas besar, dan komitmen mempertahankan keberpihakan pada industri ini.
“Dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat memastikan bahwa kemerdekaan yang diraih pada 1945 bukan hanya kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi yang berdiri di atas fondasi industri strategis yang kokoh. Baja, dalam hal ini, menjadi penopang tak tergantikan,” Akbar Djohan menambahkan.
Di tengah arus globalisasi, proteksionisme perdagangan, dan transisi energi, kemandirian industri baja akan menjadi penentu daya tahan ekonomi nasional. Jika fondasi ini kokoh, Indonesia tak hanya mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi juga berperan sebagai pemain penting di pasar global.
“Pada akhirnya, peringatan HUT ke-80 bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga menetapkan arah masa depan — masa depan di mana kedaulatan Indonesia berdiri tegak di atas baja yang diproduksi oleh bangsanya sendiri,” pungkas Akbar.
















