Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam paparan daring, Jumat (15/5) menyatakan sejumlah manfaat yang bida diterima bank jangkar alias bank peserta penyangga likuiditas dalam rangka pemulihan ekonomi nasional saat pandemi.
“Misalnya, penempatan dana pemerintah dalam deposito bank peserta diberi rate sesuai repo rate 4,5%. Nanti bank peserta pasti akan mendapat marjin karena rate yang diberlakukan ke bank pelaksana pasti lebih tinggi,” kata Wimboh.
Secara umum, skema bank jangkar dijelaskan Wimboh sebagai berikut. Pemerintah akan menempatkan dana di bank jangkar yang direncanakan mencapai Rp 35 triliun. Bank pelaksana nanti akan mengajukan pinjaman likuiditas kepada bank jangkar yang akan meneruskan permohonan ke pemerintah.
Di sini bank jangkar bisa raih pendapatan dari selisih marjin antara yang diberikan bunga penempatan dana yang diberikan pemerintah dengan bunga yang diberlakukan sebagai pinjaman kepada bank pelaksana.
Untuk mendapat pinjaman likuiditas ini, bank pelaksana juga mesti menjaminkan portofolio kreditnya yang direstrukturisasi akibat pandemi. Jika kelak terjadi gagal bayar oleh bank pelaksana, bank jangkar juga tak dipastikan Wimboh tak akan menerima risiko karena ada jaminan dai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
“Risiko untuk bank jangkar netral, jika bank pelaksana gagal bayar ke bank peserta akan ada penjaminan dari LPS. Apabila bank pelaksana tidak bisa mengembalikan likuiditas yang dipinjam, jalan terakhir akan diproses oleh LPS. LPS menjamin dana yang ditempatkan di bank peserta,” jelas Wimboh.
Sementara manfaat terakhir bank peserta sejatinya juga bisa memanfaatkan penempatan dana tersebut buat menopang likuiditasnya sendiri. Sehingga bank jangkar jangkar tak cuma berperan sebagai perantara, melainkan juga pengguna.
Wimboh menjelaskan sejatinya skema penyangga likuiditas via bank jangkar ini lumrah terjadi pada pasar uang antar bank (PUAB), nah calon-calon bank jangkar ini juga pemasok likuditas dalam PUAB.
“Intinya ada beberapa manfaat yang bisa didapatkan bank jangkar, pertama likuiditas yang digunakan sudah disediakan pemerintah, kemudian dananya dijamin LPS, dan mereka bisa mendapatkan marjin,” sambung Wimboh.
Meski demikian masih terdapat cela terhadap skema ini. Misalnya adanya potensi persaingan tidak sehat. Alasannya bank peserta bisa mendapatkan rate yang lebih rendah dibandingkan bank pelaksana.
Hal ini sejatinya sempat dikeluhkan sejumlah bank menengah yang berpotensi tak dapat menjadi bank peserta. “Akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Jika kemudian yang dipilih menjadi bank jangkar hanya bank baik, apa bank yang lain buruk, dikotomi seperti ini juga bisa menimbulkan salah persepsi di pasar,” kata Direktur Utama PT Bank Mayapada Tbk (MAYA) Hariyono Tjahrijadi
Sementara Presiden Direktur PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) Parwati Surjaudaja menilai saat ini sejumlah stimulus likuiditas dari Bank Indonesia sejatinya sudah cukup bagi perbankan. Lagipula konsep bank jangkar ini sejatinya bakal sulit dilaksanakan.
Merujuk PP 23/2020, ada tiga kriteria yang ditetapkan untuk menjadi bank jangkar. Pertama keuangan bank mesti sehat, pemegang saham pengendali 51% berasal dari Indonesia, dan termasuk dalam 15 bank beraset terbesar.
Adapun dari penelusuran Kontan.co.id, dari 15 bank dengan aset terbesar, calon kuat cuma berasal dari empat bank Himbara (Himpunan Bank Negara), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). kriteria terkait batas kepemilikan lokal maksimum 51% jadi kendala utama bank lainnya.
Menanggapi hal ini, Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Pahala Mansury menjelaskan saat ini pihaknya sendiri masih menunggu petunjuk pelaksanan terkait mekanisme bank jangkar ini.
“Kami masih menunggu aturan pelaksanaannya, terutama soal risiko penyaluran likuiditasnya. Jangan sampai bank peserta juga memiliki risiko tambahan, karena saat pandemi seperti ini kami juga masih memiliki juga restrukturisasi,” katanya dalam paparan daring secara terpisah, Jumat (15/5).
Adapun Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Sunarso bilang sejatinya perseroan juga butuh tambahan likuiditas. Maklum bank terbesar di tanah air ini juga mendominasi restrukturisasi kredit terimbas pandemi.
Hingga April 2020, perseroan telah merestrukturisasi kredit senilai Rp 101,23 triliun dari 1,41 juta debitur. Sementara dari paparan Sunarso dalam diskusi daring, Jumat (15/5) empat bank Himbara telah merestrukturisasi kredit Rp 223,15 triliun dari 1,71 debitur.
“Ketentuan pelaksanaan bank jangkar saat ini masih digodok. Dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 101,23 triliun, kami berharap setidaknya ada likuiditas tambahan untuk mengatasi penundaan angsuran pokok, baik dari penempatan dana pemerintah maupun bank cari sendiri” kata Sunarso dalam paparan daring, Kamis (14/5).
Sumber KOntan, edit koranbumn