Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menutup (likuidasi) 117 bank sejak 2005 hingga November 2021. Jumlah tersebut terdiri dari 1 bank umum dan 116 Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Sebanyak 98 bank tercatat sudah selesai proses likuidasi. Sementara, 16 bank yang telah dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih dalam proses likuidasi. Mayoritas bank yang ditutup berasal dari Jawa Barat, Sumatra Barat dan Jawa Timur.
“Suatu perusahaan kecil, kelemahannya selalu pada tata kelolanya. Karena semakin besar perusahaanya, tata kelolanya pasti diperbaiki dan disempurnakan terus. Nah, BPR tidak sempat memperbaiki tata kelola,” kata Dimas di Bandung, Sabtu (11/12).
Menurut Dimas, masalah tata kelola berasal dari pengurus dan pemegang saham perusahaan. Selain itu, jumlah BPR mencapai 1.635 pemain, artinya peluang bank dilikuidasi besar karena jumlahnya lebih banyak dari bank umum.
Demi menangani simpanan bank gagal, LPS punya kewenangan khusus untuk penanganan klaim simpanan nasabah. LPS menetapkan terlebih dahulu kategori simpanan nasabah menjadi dua kategori yakni layak bayar atau tidak layak bayar.
Penentuan kategori simpanan tersebut melalui sebuah proses yang disebut rekonsiliasi dan verifikasi (rekonver). Proses ini untuk memastikan apakah simpanan nasabah memenuhi syarat 3T dari LPS.
Pertama, tercatat pada pembukuan bank. Kedua, tingkat bunga simpanan tidak melebihi bunga penjaminan LPS. Ketiga, tidak menyebabkan bank menjadi bank gagal.
Sampai Oktober 2021, LPS telah membayar klaim simpanan nasabah sebesar Rp 1,69 triliun pada periode 2005-2021. Nilai ini berasal dari 265.797 rekening nasabah. LPS membayar Rp 202 miliar untuk bank umum dan Rp 1,49 triliun kepada BPR.
Sementara simpanan tidak layak bayar (TLB) mencapai Rp 372 miliar dari 18.636 rekening nasabah bank. Terdiri dari bank umum Rp 155 miliar dan BPR Rp 217 miliar.
Sumber Kontan, edit koranbumn