Semburat kuning pada kulit jeruk itu melambai-lambai di pucuk-pucuk ranting di depan rumah Emiyati (52). Seperti mengundang, air liur yang terakumulasi di lidah Siswanto (46) mengirim pesan kepada tubuhnya untuk mendekat dan memetik. Benar saja, tamu dari Lampung itu, atas izin pemilik rumah, langsung merangsek dan memetik buah ranum itu beberapa biji. Refleks, tangannya lincah mengupas dan mengantarkan ke mulut untuk dinikmati.
“Akkhhhhhh….kecut bangeeetsss!” teriak karyawan PTPN VII itu dengan ekspresi wajah berkerut.
Tanaman jeruk kalamansi milik Emi, sapaan akrab warga Desa Tabajambu, Pondok Kubang, Bengkulu Tengah itu memang sudah saatnya dipanen. Ukuran buahnya hanya sedikit lebih besar dari buah duku pada umumnya. Terlihat menggiurkan, tetapi seperti yang dialami Siswanto, Anda akan terpedaya ketika mencicipinya. Lalu, untuk apa Emiyati memelihara begitu banyak pohon jeruk kecut itu?
Ditemui beberapa waktu lalu, Emi sedang berada di gerai yang dibangun dari bekas garasi rumahnya sebagai ruang pajang produk. Beberapa tamu langsung disuguhi minuman ringan dalam kemasan bermerek “Putri Bengkulu”. Sebelum berbincang, perempuan ramah ini mempersilakan mencicipi minuman yang disajikan.
“Silakan dicoba, Pak. Itu sirup yang diolah dari jeruk yang tadi dicicip dari pohon. Namanya jeruk kalamansi. Walaupun sudah matang di pohon, rasanya tetap asam, tetapi kandungan vitaminnya, terutama vitamin C sangat tinggi. Makanya kami bikin supaya manfaatnya bisa kita rasakan,” kata Emi.
Berawal dari melihat tetangganya punya pohon jeruk kecut berbuah lebat tetapi tak manfaat, Emi yang tak punya kegiatan kerja di luar merasa tertarik. Pikiran itu lebih mengemuka setelah yayasan sosial tempat suaminya pernah bekerja memberi pelatihan membuat sirup kepada masyarakat. Walhasil, Emi mengincar halaman rumah tetangganya yang terdapat pohon jeruk.
“Saya tadinya nggak tahu nama jeruk itu. Buahnya banyak tapi nggak ada yang mau karena asem banget. Paling diambil cuma untuk meresin ikan supaya nggak amis,” cerita Emi.
Tahun 2001 menjadi awal eksperimentasi Emi dengan jeruk-jeruk yang sering bikin linu mulut pencecapnya. Dengan cara sederhana, ia memeras dan mengolah jeruk-jeruk masak berdiameter sekitar tiga-empat centi meter itu untuk dijadikan minuman. Tentu, ditambahkan gula untuk melawan rasa kecut yang kebangetan itu.
Dengan perbandingan tertentu, eksperimen Emi mendapati formula tepat untuk menciptakan rasa baru yang bisa dinikmati lidah. Sedikit ilmu dari pelatih di yayasan memberi motivasi wanita lincah itu untuk mencoba peruntungan dagang. Kemasan botol bekas limun yang dicuci bersih ia pakai untuk menawarkan kepada beberapa tetangga dan teman lainnya.
Sedikit propaganda ia tambahkan sebagai kemasan mempengaruhi konsumen. Ia menyebut, kandungan vitamin C pada jeruk yang kemudian ia ketahui bernama kalamansi itu sangat tinggi, melebih jenis jeruk manapun di muka bumi. Proses alami tanpa bahan pengawet, imbuh dia, adalah cara efektif agar nutrisi pada jeruk tak terganggu, meskipun ada tambahan gula.
“Saya promosi terus kalau ketemu tetangga, teman arisan, dan teman-teman kerja suami saya. Juga saya tawarkan ke toko-toko oleh-oleh di Bengkulu. Akhirnya, laku dagangan saya,” kata dia yakin.
Semakin laku, Emi mulai kelimpungan mencari bahan baku. Ia mulai berburu ke pasar dan keliling ke seputar Bengkulu untuk mendapatkan jeruk-jeruk yang airnya banyak itu. Ia juga kemudian menaman banyak pohon jeruk kalamansi di sekitar rumah dan di kebun miliknya.
Perkembangan bisnis sirup jeruk kalamansi yang dia tekuni terus berkembang. Meski pernah beberapa kali mengalami kerugian, ibu dua anak ini terus berjuang keras. Melalui beberapa pelatihan, Emi terus memperbaiki produk maupun kemasan. Salah satunya pelatihan yang dia ikuti dalah dari PTPN VII.
“Saya diikutkan pelatihan oleh PTPN VII di Lampung waktu itu. Itu karena saya dapat pinjaman modal usaha dari PTPN VII. Nah, mulai dari pelatihan itu saya dapat ilmu tentang produk yang baik, kemasan yang menarik, penentuan harga, manajemen keuangan, termasuk juga cara promosi. Semua saya terapkan dan sekarang ada hasilnya,” kata dia.
Dengan merek Putri Bengkulu, kini usaha rumah tangga Emi sudah menjadi perusahaan. Beberapa persyaratan peredaran produk makanan sudah dia dapatkan. Dari Badan POM, sertifikat halal, pendaftaran merek, dan segala izin operasional sudah dia kantongi.
Mendapat pinjaman dana Rp15 juta pada 2015, Emi membeli peralatan produksi yang sudah menggunakan mesin. Ada mesin pemeras bertenaga listrik yang secara otomatis memisahkan sari jeruk dengan kulitnya, mesin penhaduk, mesin pengemas, dan lainnya.
Di outlet yang dirancang cantik nan bersih, selain memajang produk-produk yang dihasilkan, Emi juga memajang piala, piagam, dan foto-foto dengang pejabat saat dia menerima penghargaan.
Produknya kini menjadi salah satu ikon minuman khas Provinsi Bengkulu. Di toko-toko oleh-oleh, nama Sirup Jeruk Kalamansi Putri Bengkulu mudah ditemukan. Selain itu, Anda yang ingin mendapatkan khasiat vitamin C dengan rasa segar ini bisa memesan lewat jaringan pemasaran online. Kemasan satu liter seharga Rp45 ribu bisa disajikan dengan mencampur air sesuai selera.
“Tahun 2017, saya kembali dapat pinjaman dana dari PTPN VII, Rp35 juta. Ini sangat membantu usaha saya karena pinjaman dari PTPN VII hampir nggak ada bunga.”
Nama sirup Jeruk Kalamansi ini kini juga diburu pelancong sebagai oleh-oleh. Dengan ketahanan produk sampai enam bulan, sirup yang rasanya sensasional ini sangat nendang kalau disajikan dengan air dingin.
“Pemasaran, sementara ini masih lebih banyak di Provinsi Bengkulu. Tetapi, pesanan sudah banyak dari Lampung, Jakarta, Bandung, Palembang, Padang, Jawa, dan lainnya. Kalaupun banyak laku di Bengkulu, kebanyakan juga dibawa untuk oleh-oleh ke luar kota. Bahkan sudah beberapa kali dibawa ke luar negeri,” kata dia.
Dengan omset Rp50—70 juta per bulan, Emi mempekerjakan tujuh karyawan produksi dan pemasaran. Ia juga mengelola dua hektare tanaman jeruk kalamansi sebagai pemasok bahan baku produksinya. (HUMAS PTPN VII)